Rindu di Balik Purnama

 

oleh Adrian | Founder Perdana Indonesia

Pernahkah kamu merindukan seseorang yang tak datang-datang, bahkan setelah semua cahaya pergi?

Begitulah rasa dalam lagu “Rindu Purnama” karya Kang Dedi Mulyadi—sepi yang tak sekadar malam, tapi juga jiwa yang kehilangan arah.

Kenapa ini penting? Karena lagu ini bukan sekadar tentang cinta yang hilang, tapi juga tentang manusia yang mencari terang di tengah gelap—tentang kesetiaan menunggu, dan keyakinan bahwa purnama akan kembali walau rembulan sempat sirna.

Kang Dedi Mulyadi, dengan tutur khasnya yang puitis dan penuh makna Sunda, menghadirkan metafora alam sebagai cermin batin manusia: ketika malam terlalu panjang, hati manusia diuji oleh kesunyian yang paling dalam.

Liriknya sederhana tapi tajam:

“Gelap terlalu panjang, mencekam mengiris hati, menggores luka tak bertepi.”

Ini bukan sekadar curahan rindu, melainkan refleksi kehidupan—bahwa setiap manusia pernah berada di titik itu: saat semua cahaya terasa padam, dan satu-satunya yang tersisa hanyalah harapan kecil dari “secercah cahaya” yang menuntun di kegelapan waktu.

Di tangan Kang Dedi, rindu tak lagi sekadar perasaan. Ia menjadi falsafah: bahwa manusia harus tetap menjaga purnama dalam dirinya—meski langitnya sedang disiram hujan.

Lagu ini seolah mengajarkan bahwa kehilangan bisa menjadi guru yang paling lembut, bila kita mau mendengarkan diamnya malam.

“Rindu Purnama” bukan lagu galau biasa. Ia adalah doa dalam bentuk nada—tentang menunggu, tentang ikhlas, tentang cahaya yang akan kembali.

Karena purnama mungkin terlambat, tapi tak pernah ingkar janji.

Haturnuhun pak gubernur @dedimulyadi71 sudah menciptakan lagu terindah yang pernah saya dengar.

                 https://www.instagram.com/reel/DP86F8gkZyR/?igsh=MXI1b204czh0eXY1eA==