terkini

Ads Google

Seolah-olah 'Anjing' Binatang Paling Hina, Padahal…

Redaksi
3/04/22, 14:42 WIB Last Updated 2022-03-04T07:42:07Z

 


Oleh : Mahadir Mohammed


"Bener sampean mau dipanggil anjing?"

"Terserah kamu. Masak aku harus melarang-larang. Aku malah berterimakasih jika kamu memanggilku anjing. Dengan begitu, kehormatanku sedang ditinggikan karena aslinya aku tidak pernah mampu setia dan sejujur anjing."


"Ya saya ndak berani bilang apa-apa, Cak."


"Sama, Mat. Aku juga tak berani memberi cap kepada siapa pun dengan lebel apa pun. Puncak keberanianku hanya meremehkan diriku sendiri."


***


Penggalan cerita tersebut disusun secara apik oleh Cak Rusdi Mathari, di dalam salah satu bukunya yang cukup fenomenal; "Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya" yang pertama kali terbit tahun 2016.


Cerita ini kembali membuka paradigma kita semua, terutama ketika kita melontarkan kata-kata anjing, terhadap seseorang atau menganalogikan sesuatu hal dengan anjing. Yang dikatakan atau yang sedang disematkan dengan istilah anjing, tentu saya dan Anda semua merasa emosional dan jarang kita merasa terima dengan pernyataan itu.


Dan orang-orang yang melontarkan kata-kata anjing, pasti juga merasa bahwa anjing itu binatang hina atau binatang penganggu. Sehingga merasa pantas menyamakan sesuatu hal atau seorang dengan anjing. 


Padahal, seperti penggalan cerita di awal, Cak Dlahom sebagai tokoh imajinatif di dalam bukunya itu, merasa senang dipanggil anjing dan malah tidak berani melabelkan sesuatu hal dengan anjing. Sebab merasa tidak bisa sesetia dan sejujur anjing. 

Dan memang banyak cerita dalam perspektif islam, kisah-kisah tentang anjing secara keseluruhan adalah kisah yang mencerahkan dan penuh hikmah kebaikan.


Minsal, kisah Abdullah bin Jaafar bin Abi Talib dengan seorang penjaga kebun kurma. Ketika itu penjaga kebun sedang memberi anjing makan, sampai-sampai penjaga kebun itu rela tidak makan agar anjing itu bisa kenyang. 


Abdullah bin Jaafar bin Abi Talib merupakan seorang yang sangat dermawan, ia sering menyantuni pakir miskin dan anak-anak yatim. Ketika melihat itu ia merasa malu, karena ia merasa bahwa selama ini ia mampu berbuat baik hanya sesama manusia, tapi belum mampu berbuat baik terhadap sesama makhluk hidup.


Kisah yang lain tentang anjing, sangat populer bagi umat islam. Yaitu kisah tujuh pemuda dan anjingnya, yang disebut di dalam Al-Khafi dijamin oleh Allah masuk surga karena setia menjaga tuan mereka. Sebuah cerita lain, menjelaskan tentang pelacur masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang sedang sekarat.


***


Kisah-kisah tersebut, membuat kita semua harusnya percaya, bahwa anjing bukanlah bintang paling hina, justru malah bisa menjadi asbab hikmah itu datang kepada kita. Dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bercandaan atau kemarahan, anjing menjadi binatang yang selalu disematkan yang bernuansa makian.


Seolah-olah orang-orang yang disematkan dengan kalimat anjing, sama hinanya dengan anjing dan yang mengucapkan itu, merasa lebih mulia.


Mengenai kemuliaan, tidak akan pernah kita dapatkan, ketika ucapan kita tidak selaras dengan tindakan. Jadi, apabila kita ingin men-judget seseorang itu anjing. Maka, perlu kita croscek, apa diri kita sudah sesetia dan sejujur anjing terhadap tuanya. Apa kita kita sudah setia pada perintah dan jujur terhadap Tuhan kita?


Dan kita juga tidak perlu marah secara berlebihan, ketika kita dimaki dan dipanggil 'anjing'. Kenapa? Ya, justru kehormatan kita sedang ditinggikan karena aslinya kita tidak pernah mampu setia dan sejujur anjing. Dari hal itu kita juga mengetahui, bahwa seseorang yang suka melontarkan kata 'anjing', kita menjadi tahu kualitas dirinya. Jika meminjam ungkapan Cak Rusdi, itu sebenarnya ia sedang memaki dirinya sendiri.


***


Dari sisi lain kita bisa melihat, anjing saja tidak pernah merampok harta anjing yang lain. Justru, manusialah yang sering melakukan hal itu, dengan penghianatan terhadap janji, ketidaksetiaan terhadap amanah, merampas dan mengekploitasi hak-hak manusia yang lain. Lantas siapa yang paling hina? 


Lalu, dengan gagahnya kita menyalahkan anjing, bahkan mungkin kita menganggap diri kita lebih mulia dari pada anjing. Sehingga kita dengan mudah menyematkan dan menganggap sesuatu hal itu sama hinanya dengan anjing.


Kita tahu, bahwa anjing adalah salah satu binatang yang paling banyak dikisahkan dalam Al-Qur'an dan hadis. Walupun kemudian anjing menjadi persoalan dan perdebatan yang tidak pernah selesai bagi orang-orang islam, karena dianggap menjijikkan dan najis. Bahkan, perdebatan soal analogi suara adzan dengan gonggongan anjing menjadi topik hangat saat ini.


Di dalam hadis, memang anjing adalah binatang najis. Namun, Nabi tidak menyinggung hubungan anjing dan manusia. Semua pendapat tentang anjing adalah khilafiyah, perbedaan pendapat dan tafsir, dan tentu sebagai seorang muslim kita boleh berpegang teguh pada salah satunya. Sesuai dengan kapasitas ilmu dan mazhab kita masing-masing.


Namun yang perlu kita cermati, diantara berbagai perbedaan pendapat soal anjing, salah satu kesamaan dan mungkin kita semua bisa sependapat, bahwa sikap anjing yang paling teguh adalah setia. Keteguhan sikap itu juga tidak salah, jika kita tiru dan implementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri katanya 'beradab' ini.


Bukankah seorang wakil rakyat harus setia terhadap rakyatnya? Bukankah seorang penjabat negara harus bersikap setia terhadap orang-orang yang memilihnya? Bukankah kita juga harus setia dan jujur terhadap sesama dalam hal kebaikan? Jika kita belum mampu setia dan lebih sering mendua, baik terhadap perintah langit maupun terhadap sesama. Apa kita tidak lebih hina dari pada anjing?


Tabik!

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Seolah-olah 'Anjing' Binatang Paling Hina, Padahal…

Terkini

Topik Populer

Iklan

Close x