terkini

Ads Google

Konflik di Balik Rumah Rakyat: Fahri Hamzah vs Maruarar Sirait, Mis-com atau Mis-Cuan?

Redaksi
6/27/25, 20:10 WIB Last Updated 2025-06-27T13:10:35Z


Jakarta, Kabaran.id – Di panggung politik Kabinet Merah Putih, sebuah drama romansa politik picisan tengah dimainkan dengan penuh intrik. Dua tokoh utama Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Menteri Maruarar Sirait dan Wakil Menteri Fahri Hamzah, tampaknya terjebak dalam tarian penuh ketegangan, bukan harmoni.


Alih-alih bersatu demi misi mulia menyediakan rumah layak bagi rakyat, keduanya justru terlihat seperti dua kekasih yang saling berpaling—masing-masing mengejar kepentingan sendiri di tengah bayang-bayang dugaan mafia perumahan dan korupsi. Publik pun bertanya: mengapa Presiden Prabowo Subianto belum turun tangan untuk mendamaikan konflik ini?



---


Polemik yang Mengguncang: Rumah 18 Meter dan Pinjaman Asing


Di permukaan, konflik ini berpusat pada dua isu besar: desain rumah subsidi berukuran 18 meter persegi dan strategi pembiayaan perumahan.


Maruarar Sirait, yang akrab disapa Ara, dengan penuh semangat memperjuangkan rumah mungil sebagai solusi backlog perumahan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. “Kami berpikir tanahnya diperkecil, desainnya dibuat bagus, tidak kumuh, dan menarik,” ujar Ara pada 11 Juni 2025, seperti dikutip BanyumasEkspres.id. Visi ini, baginya, adalah jalan pragmatis untuk menjawab harga tanah yang melambung, meski ia menegaskan keputusan belum final.


Namun, Fahri Hamzah, sang wakil menteri, tampil sebagai antagonis dalam narasi ini. Dengan nada sinis, ia menyebut rumah 18 meter persegi sebagai “tidak layak huni” dan bahkan melanggar standar hukum jika didanai APBN melalui skema social housing. “Begitu kita membuat ukuran 18 itu, rumah langsung disebut sebagai rumah tidak layak,” tegas Fahri pada 25 Juni 2025. Pernyataan ini bukan sekadar kritik teknis, melainkan serangan frontal terhadap visi menterinya sendiri.


Polemik semakin memanas soal pembiayaan. Ara dengan tegas menolak pinjaman luar negeri, mengklaim dana domestik dari Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) senilai Rp130 triliun sudah cukup. Ia juga membanggakan lonjakan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dari 22 ribu menjadi 350 ribu unit, yang diprediksi menciptakan 1,6 juta lapangan kerja. “Saya sudah bicara dengan Bapak Presiden, kami tidak memerlukan pinjaman luar negeri,” katanya pada 24 Juni 2025.


Fahri, di sisi lain, mengaku “terkejut” dengan keputusan ini. Ia mengungkapkan bahwa pembahasan intensif dengan Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Asian Development Bank (ADB) telah berlangsung selama enam bulan, termasuk pertemuan langsung dengan Presiden Prabowo di Beijing. “Saya terus terang nggak tahu alasannya,” keluh Fahri, seolah menyinggung kurangnya komunikasi di internal kementerian. Ia bahkan mengklaim dukungan dari Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy dan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk tetap membuka opsi pendanaan asing.



---


Bayang-Bayang Mafia Perumahan dan Korupsi


Di balik perbedaan pendapat yang tampak teknis ini, bisik-bisik di koridor kekuasaan mulai menyeruak. Publik mulai mencium aroma kepentingan yang lebih dalam, yang tak sekadar soal kebijakan. Dugaan mafia perumahan, yang selama ini menjadi momok sektor properti, kembali menjadi sorotan.


Apakah penolakan Ara terhadap pinjaman luar negeri merupakan upaya heroik untuk menutup celah korupsi? Ataukah justru kamuflase untuk mengamankan aliran dana domestik ke kantong-kantong tertentu?


Sementara itu, desakan Fahri untuk membuka pintu pendanaan asing memunculkan spekulasi: adakah agenda tersembunyi di balik lobi-lobi internasional yang ia klaim telah berjalan intensif?


Data dari Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan bahwa sektor properti dan perumahan kerap menjadi ladang subur korupsi, dengan kasus-kasus seperti penyalahgunaan dana FLPP dan manipulasi kuota rumah subsidi yang tidak transparan.


Laporan BanyumasEkspres.id menyebutkan bahwa dana Rp130 triliun dari Danantara, yang diandalkan Ara, bersumber dari cost of fund BUMN, termasuk bank-bank Himbara. Fahri mengkritik langkah ini, menyebutnya kurang optimal dibandingkan pendanaan asing yang lebih murah. Namun, benarkah kritik ini murni demi efisiensi, atau ada motif lain yang ingin mengalihkan perhatian dari skema domestik yang rentan disalahgunakan?


Kasus korupsi pengadaan Chromebook senilai Rp9,9 triliun—yang kini menyeret nama Nadiem Makarim sebagai saksi (BanyumasEkspres.id, 26 Juni 2025)—menjadi pengingat bahwa skandal besar bisa mengintai di balik proyek-proyek pemerintah. Jika mafia perumahan memang bercokol di Kementerian PKP, perpecahan antara Ara dan Fahri bisa jadi bukan sekadar konflik ego, melainkan pertarungan kepentingan yang lebih gelap.



---


Romansa Politik yang Memilukan


Dalam drama politik ini, Ara dan Fahri tampak seperti dua tokoh dalam novel roman picisan: saling mencintai visi perumahan rakyat, namun terpisah oleh ambisi dan distrust. Sejak dilantik pada Oktober 2024, keduanya belum pernah tampil bersama di depan publik, sebuah fakta yang menambah spekulasi tentang retakan dalam tubuh kementerian.


Ara, dengan gayanya yang tegas dan berwibawa, tampil sebagai pemimpin yang ingin membuktikan kemandirian nasional. Fahri, dengan nada kritis dan pengalaman politiknya yang panjang, seolah menantang otoritas sang menteri, memposisikan diri sebagai penutur kebenaran yang terabaikan.


Publik, yang menjadi penonton setia drama ini, hanya bisa menyaksikan dengan cemas. Rumah subsidi, yang seharusnya menjadi simbol harapan bagi jutaan rakyat kecil, kini terancam menjadi korban dari pertikaian internal. Jika Ara dan Fahri tidak mampu menyelaraskan langkah, visi besar pemerintahan Prabowo untuk menyelesaikan backlog perumahan—yang menurut Badan Pusat Statistik mencapai 12,7 juta unit pada 2024—bisa runtuh sebelum dimulai.



---


Presiden, Turun Tanganlah!


Di tengah pusaran konflik ini, satu pertanyaan menggema: di mana Presiden Prabowo? Sebagai nahkoda Kabinet Merah Putih, ia memiliki otoritas untuk menengahi pertikaian ini. Namun hingga kini, sikapnya terkesan ambigu.


Ara mengklaim telah berbicara langsung dengan Presiden untuk menolak pinjaman asing, sementara Fahri menyebut tidak ada perintah resmi untuk menghentikan opsi tersebut. Ketidakjelasan ini hanya memperkeruh spekulasi bahwa ada agenda besar yang sengaja dibiarkan mengambang.


Presiden Prabowo harus turun tangan, bukan hanya untuk mendamaikan dua anak buahnya, tetapi juga untuk menjamin bahwa program perumahan rakyat tidak menjadi ajang bancakan. Audit menyeluruh terhadap aliran dana Danantara, transparansi dalam pengambilan kebijakan, dan investigasi atas dugaan mafia perumahan adalah langkah konkret yang harus segera diambil.


Jika tidak, rakyat kecil—yang bermimpi memiliki rumah layak—akan terus menjadi korban dari drama politik yang lebih mirip sinetron ketimbang pengabdian.



---


Penutup: Harmoni atau Hancuran?


Fahri Hamzah dan Maruarar Sirait seharusnya menjadi duet yang solid, bukan rival yang saling menjegal. Perumahan rakyat bukanlah panggung untuk adu ego atau kepentingan.


Di balik polemik rumah 18 meter dan pinjaman asing, ada rakyat yang menanti janji-janji manis pemerintah. Jika dugaan mafia perumahan dan korupsi terus dibiarkan mengintai, maka romansa politik ini tak akan berakhir dengan happy ending, melainkan tragedi bagi jutaan rakyat yang masih bermimpi tentang atap di atas kepala mereka.


Presiden Prabowo, inilah saatnya untuk mengambil kendali. Satukan Ara dan Fahri, atau gantikan mereka dengan figur yang mampu berkolaborasi demi rakyat. Karena dalam politik, cinta sejati bukanlah soal siapa yang menang, tetapi bagaimana rakyat bisa tersenyum di akhir cerita.


Penulis: Adrian 

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Konflik di Balik Rumah Rakyat: Fahri Hamzah vs Maruarar Sirait, Mis-com atau Mis-Cuan?

Terkini

Topik Populer

Iklan

Close x