terkini

Ads Google

Hilangnya Gaya Hidup Berbasis Alam di Tengah Modernisasi Sunda

Redaksi
6/22/25, 19:40 WIB Last Updated 2025-06-22T12:40:00Z


Kang Nandang, ketum kami di Save Jabar yang selalu punya pandangan tajam soal budaya Sunda, nge-chat malam ini dengan nada penuh keresahan. “Inilah kenapa orang Sunda pada sehat. Karena hidupnya berbasis alam,” katanya.


Saya mengangguk dalam hati, setuju. Tapi kalimat berikutnya bikin saya merenung: “Cuma efek modernisasi aja. Gaya hidup berubah. Dari berbasis alam, jadi berbasis tren.” Komentarnya singkat, tapi ngena banget.


 Sebagai orang yang tinggal di Jawa Barat dan ngerasain sendiri perubahan ini, saya nggak bisa nahan diri buat nulis keresahan yang sama soal hilangnya akar sehat budaya Sunda di tengah arus modernisasi.


Dulu, orang Sunda hidup selaras sama alam. Pagi-pagi, nenek saya di bogor udah ke kebun buat petik bayam-bayam atau kolplay buat karedok.


Sayur asem dibikin dari daun melinjo yang tumbuh di pekarangan, jagung manis dari sawah tetangga, dan asam jawa dari pohon belakang rumah. Ulen? Itu camilan andalan, dibakar pake kayu di tungku sederhana.


Makanan Sunda bukan cuma enak, tapi juga sehat karena bahan-bahannya segar, minim pengolahan, dan langsung dari alam. Gaya hidupnya juga mendukung: jalan kaki ke pasar, gotong royong di sawah, atau sekadar duduk di saung sambil dengerin suara angin. Hidup sederhana, tapi badan bugar, pikiran tenang.


Penelitian pun membuktikan. Menurut Journal of Public Health (2023), pola makan berbasis nabati seperti yang dulu dijalani orang Sunda—kaya serat, rendah lemak jenuh—bisa turunkan risiko penyakit jantung dan diabetes hingga 20%.


Aktivitas fisik alami, seperti bertani atau jalan kaki, juga disebutkan dalam The Lancet (2024) sebagai kunci umur panjang di komunitas tradisional. Orang Sunda dulu, tanpa sadar, udah ngejalanin hidup yang sekarang disebut “tren kesehatan 2025”: plant-based diet, mindfulness, dan olahraga organik.


Tapi, seperti kata Kang Nandang, modernisasi ubah segalanya. Sekarang, di kota-kota seperti Bandung atau Bogor, gaya hidup berbasis alam itu perlahan pudar. Sawah diganti perumahan, kebun jadi mal. Anak muda, termasuk saya kadang-kadang, lebih gampang pesen burger via ojol ketimbang bikin karedok yang ribet nyiapin bumbunya. Kopi susu kekinian di kafe Dago lebih laku ketimbang wedang jahe buatan sendiri.


Data dari Badan Pusat Statistik Jawa Barat (2024) bikin miris: konsumsi makanan olahan di kota-kota besar naik 15% dalam lima tahun terakhir, sementara konsumsi sayuran segar turun. Diabetes dan obesitas, yang dulu jarang denger di kampung, sekarang jadi isu serius, bahkan di kalangan anak muda.


Modernisasi juga bikin kita lupa cara hidup selaras sama alam. Dulu, orang Sunda punya kearifan lokal: nggak buang sampah sembarangan biar sungai tetep bersih, atau nanem pohon buah di pekarangan. Sekarang? Sungai Citarum, yang dulu jadi sumber kehidupan, tercemar parah, meski program Citarum Harum udah berjalan. Menurut laporan Kementerian Lingkungan Hidup (2025), 60% sampah plastik di Citarum berasal dari rumah tangga urban. Kita, yang katanya generasi modern, malah ninggalin warisan lingkungan yang rusak.


Yang bikin saya tambah resah, tren kesehatan kekinian justru bikin kita lupa akar budaya sendiri. Di Instagram, superfood kayak quinoa atau kale dipuji-puji, padahal karedok atau sayur asem jauh lebih murah dan nggak kalah bergizi. Influencer promosiin smoothie bowl seharga 80 ribu, tapi ulen dengan kelapa parut yang cuma 5 ribu di pasar dianggap “kampungan”. Kita kejar gaya hidup sehat versi Barat, tapi lupa bahwa nenek moyang kita udah punya resep hidup sehat berbasis alam ribuan tahun lalu.


Kang Nandang bilang, kita sekarang hidup berbasis tren. Bener banget. Tren bikin kita pengen cepet, instan, dan kelihatan keren. Tapi, di balik itu, kita kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga: keseimbangan sama alam yang bikin orang Sunda dulu sehat lahir batin. Saya nggak anti modernisasi—teknologi kayak smartwatch atau aplikasi resep sehat bisa bantu kita hidup lebih baik. Tapi, apa gunanya kalau kita lupa akar kita sendiri?Jadi, apa solusinya? Mungkin kecil-kecilan dulu. Saya mulai coba bikin karedok seminggu sekali, beli sayur di pasar deket rumah biar ngurangin plastik. Saya juga pengen ajak temen-temen ke hutan pinus di Lembang, bukan buat foto doang, tapi buat jalan-jalan sambil hirup udara segar, kayak orang Sunda dulu. Dr. Ani Susanti dari Unpad, yang saya wawancara buat artikel sebelumnya, bilang, “Kembali ke akar budaya nggak berarti tolak modernisasi. Justru, kita bisa gabungin: karedok dibikin kekinian, mindfulness dipraktikkan di alam.” Mungkin ini saatnya kita, anak muda Sunda, bikin tren baru: hidup sehat yang nggak cuma keren di medsos, tapi juga nyata buat badan dan bumi.


Keresahan ini nggak bakal selesai dalam semalam. Tapi, setidaknya, saya dan mungkin anda yang baca ini, bisa mulai dari langkah kecil. Karedok besok, siapa mau coba? Atau, seperti kata Kang Nandang, kita cuma bakal terus kejar tren, sambil lupa rahasia sehat yang udah ada di depan mata?


Oleh Adrian | Sekjend Save Jabar

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Hilangnya Gaya Hidup Berbasis Alam di Tengah Modernisasi Sunda

Terkini

Topik Populer

Iklan

Close x