Melainkan kata dia telah berubah menjadi `the guardian of oligarchy`.
Hal itu disampaikan Yusril setelah MK menolak gugatan yang diajukan PBB terkait uji materi Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
“MK bukan lagi `the guardian of constitution` dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi `the guardian of oligarchy`,” ujar Yusril melalui keterangan resmi.
Yusril menilai keputusan MK yang selalu menolak uji materi Pasal 222 UU Pemilu membuat demokrasi semakin terancam dengan munculnya oligarki kekuasaan.
“Dengan ditolaknya permohonan PBB dan para anggota DPD ini serta permohonan-permohonan lain yang akan diajukan, maka demokrasi kita kini semakin terancam dengan munculnya oligarki kekuasaan,” kata dia.
“Calon Presiden dan Wakil Presiden yang muncul hanya itu-itu saja dari kelompok kekuatan politik besar di DPR, yang baik sendiri atau secara gabungan, mempunyai 20 persen kursi di DPR,” sambungnya.
Yusril menyoroti calon Presiden yang diusung dalam Pemilu mendatang adalah calon yang didukung oleh partai politik berdasarkan threshold hasil Pileg lima tahun sebelumnya. Ia menilai hal tersebut sebagai suatu keanehan.
“Padahal dalam lima tahun itu para pemilih dalam Pemilu sudah berubah. Formasi koalisi dan kekuatan politik juga sudah berubah. Namun, segala keanehan ini tetap dipertahankan MK,” ucap Yusril.
Yusril menepis argumentasi MK yang selalu mengemukakan bahwa norma Pasal 222 UU Pemilu adalah untuk memperkuat sistem presidensial. Ia menyebut `executive heavy` yang ada dalam UUD 1945 sebelum amendemen sudah sejak lama ditentang.
Menurut Yusril, UUD 1945 pasca-amendemen justru menciptakan checks and balances antarlembaga negara.
“Tidak ada hubungan korelatif antara presidential threshold dengan `penguatan sistem presidensial` sebagaimana selama ini didalilkan MK. Politik begitu dinamis, oposisi bisa berubah menjadi partai pemerintah hanya dalam sekejap,” katanya.
Yusril menambahkan Pasal 222 UU Pemilu adalah kebijakan terbuka atau open legal policy Presiden dan DPR yang tidak dapat dinilai oleh MK.
Dia mengaku telah membantah seluruh argumentasi hukum MK tersebut, tetapi sampai saat ini MK tetap berpendirian bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional.
Yusril memandang MK tidak seharusnya kukuh dengan pendapat semula karena zaman terus berubah dan argumen hukum terus berkembang.
Dalam fiqih, tutur Yusril, Imam Syafii (767-820 M) bisa mengubah pendapat hukumnya dengan merumuskan qaul jadid atau pendapat baru, dan meninggalkan qaul qadim atau pendapat terdahulu karena situasi atau ratio legis yang mendasari lahirnya sebuah norma hukum telah berubah.
“MK tidak seharusnya mempertahankan sikapnya yang kaku dan banyak dikritik para akademisi sehingga terkesan `jumud` dengan perubahan hukum yang terjadi begitu cepatnya dalam masyarakat kita,” ujarnya.
Seperti diketahui sebelumnya, MK menolak gugatan PBB yang diwakili oleh Ketua Umum Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Jenderal Afriansyah Noor terkait dengan pengujian materi Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden alias presidential threshold.
Mahkamah mengatakan tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU Pemilu berkaitan dengan esensi norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut mahkamah, permohonan uji materi tersebut tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Sumber : MYINDONESIA.NEWS