Oleh Adrian | Perdana Indonesia
Hutan itu seperti ingatan—ketika hilang, kita baru sadar betapa berharganya ia bagi hidup. Di Jawa Barat, hanya 20 persen yang masih layak disebut hutan. Angka itu seperti nadi yang melemah, menunggu keputusan: dibiarkan sekarat, atau diselamatkan.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyiapkan moratorium penebangan hutan, melarang sementara penebangan pohon berdiameter lebih dari 2 meter. Surat edaran akan dikirim kepada bupati dan wali kota, menunggu Pergub pengganti yang direncanakan terbit Januari 2026.
Alasannya jelas—Jawa Barat rawan banjir dan longsor, ancaman yang sudah menelan daerah lain di Sumatra. Dedi tak ingin bencana yang sama menjadi tamu di rumah sendiri.
Selain pelarangan, pemerintah menggandeng rakyat: upah Rp 50 ribu per hari bagi warga yang menanam dan merawat pohon hingga kuat. Reforestasi juga menyasar kebun teh di Ciater, Pangalengan, dan Puncak—tahap pertama 200 hektare akan dihijaukan kembali.
Kebijakan ini tak hanya administratif; ia spiritual. Pohon yang tumbuh adalah tabungan masa depan, bukan sekadar batang kayu yang ditebang kemudian lupa. Bila hutan menghilang, air tak punya rumah. Bila tanah telanjang, hujan berubah ancaman. Kebijakan ini tidak superheroik—tapi ia realistis, strategis, dan mendidik warga untuk ikut serta.
Yang kita butuhkan bukan hanya larangan, tapi budaya menanam. Jika sebatang pohon dirawat sebuah keluarga, hutan bukan hanya milik negara—tapi milik nurani warga. Transparansi program, pengawasan lapangan, dan pendataan vegetasi harus berjalan jujur agar moratorium tak hanya jadi poster kebijakan.
Pohon tidak memilih siapa yang akan ia lindungi. Ia meneduhkan siapa pun yang lewat. Mungkin sudah saatnya kita berhenti menebang masa depan—dan mulai menanam memori yang lebih hijau.
#hutanJabar #DediMulyadi #moratoriumhutan #lingkunganJabar #reforestasi
%20(1)-min.png)

%20(1)-min.png)
