terkini

Ads Google

Membahas Pidato Gubernur Dedi Mulyadi di Musywil VI PKS Jawa Barat

Redaksi
8/25/25, 10:53 WIB Last Updated 2025-08-25T03:53:13Z

 



oleh Adrian | Perdana Indonesia


Ada sesuatu yang berbeda dalam pidato Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di forum Musywil PKS kali ini. Ia tidak sekadar menyampaikan laporan capaian pembangunan atau mengucap salam politik penuh basa-basi. Ada denyut yang lebih jujur, lebih manusiawi, dan sekaligus lebih tajam: ia sedang bicara tentang politik yang lahir dari hati, bukan dari panggung pencitraan.


Dari awal, ia sudah menepis anggapan adanya jurang dengan PKS. Sebaliknya, ia mengafirmasi peran PKS sebagai partai yang berani menjaga moralitas dan konsistensi politik. Pernyataan itu bukan basa-basi, sebab jika kita melihat data, PKS memang konsisten hadir dalam banyak kritik kebijakan publik, dari isu pendidikan, kemiskinan, hingga lingkungan hidup. Kritik yang kadang dianggap keras, tapi faktanya menjadi pengingat agar jalannya pemerintahan tidak terjebak pada pragmatisme.


Di titik inilah Dedi meletakkan garis tegas: bahwa politik terbaik adalah yang mengikuti kata hati. Ia mengkritik tajam fenomena branding politik yang hanya memoles wajah luar tanpa membenahi isi. Kita tahu, pada Pemilu 2019 maupun 2024, politik Indonesia nyaris tenggelam oleh baliho dan slogan. Tapi rakyat kini lebih jeli: algoritma media sosial menjadi hakim baru. Kritik warga di TikTok atau WhatsApp jauh lebih dipercaya ketimbang laporan statistik pemerintah. Dan data pun menguatkan pernyataan ini: survei LSI 2023 menunjukkan 64% responden lebih percaya testimoni langsung warga di media sosial dibandingkan rilis resmi pemerintah.


Pidato itu lalu beranjak ke soal pembangunan konkret. Dedi menyebut angka, bukan janji. Dari jalan provinsi yang dulu hanya Rp400 miliar kini menjadi Rp2,6 triliun, hingga lampu jalan umum yang mendekati Rp600 miliar. Angka-angka ini bukan retorika; catatan APBD Jawa Barat 2023 memang menunjukkan lonjakan signifikan pada pos infrastruktur. Irigasi yang bertahun-tahun nihil dari provinsi, kini mendapat hampir Rp400 miliar. Ini penting, sebab 40% masyarakat Jawa Barat masih bergantung pada sektor pertanian. Tanpa irigasi, sawah-sawah di Majalengka, Cirebon, dan Indramayu akan mati pelan-pelan.


Namun, keunggulan pidato ini bukan sekadar parade angka. Dedi mengangkat sisi gelap yang jarang disentuh pejabat: pelecehan anak, rumah tanpa kamar, hingga depresi remaja karena himpitan ekonomi. Fakta ini ada di depan mata. Data P2TP2A Jabar mencatat ratusan kasus kekerasan seksual anak tiap tahun, dengan banyak pelaku justru berasal dari lingkungan yang dianggap suci. Sementara survei BKKBN menunjukkan 35% rumah tangga miskin di Jabar masih tidak memiliki kamar terpisah untuk anak-anaknya. Inilah keberanian Dedi: mengucapkan yang sering ditutup-tutupi.


Ia juga menyindir praktik studi tour sekolah yang membebani orang tua. Banyak yang menganggapnya populis. Tapi coba lihat faktanya: berdasarkan laporan Ombudsman 2023, biaya studi tour dan pungutan liar sekolah masuk tiga besar keluhan masyarakat di sektor pendidikan. Ketika Dedi melarang dan mencari solusi, itu bukan gimmick, melainkan respon langsung pada realitas rakyat.


Pidatonya lalu merentang ke arah strategis: Kertajati bukan sekadar bandara mangkrak, melainkan peluang menjadi pusat industri pertahanan. Pernyataan ini beralasan. Data Bappenas menunjukkan potensi industri dirgantara nasional bisa menyerap hingga 30 ribu tenaga kerja jika dipusatkan di wilayah Jawa Barat. Relokasi IPTN dan Angkatan Udara ke Kertajati akan menjadi game changer.


Dan puncaknya: wacana keadilan fiskal 2026. Inilah visi besar yang jarang disentuh pemimpin daerah. Dedi ingin agar daerah penghasil air, oksigen, dan hutan mendapat alokasi fiskal lebih besar. Logika ini kuat. Saat ini, daerah selatan Jawa Barat yang menjaga hutan dan resapan air justru miskin, sementara wilayah industri di utara menumpuk PAD. Data BPS 2022 menunjukkan, 6 dari 10 kabupaten termiskin di Jabar ada di wilayah selatan—padahal merekalah penjaga ekologi. Apa yang disampaikan Dedi bukan utopia, tapi koreksi struktural yang mendesak.


Pidato itu tidak kaku. Sesekali ia melontarkan humor khas Sunda: dari “Kang Duda Merana” hingga “Kang Duda Merajalela”. Tapi di balik tawa itu, ia memahat pesan serius: politik Sunda adalah politik yang bisa tertawa sekaligus menangis. Politik yang hadir, memberi, dan rajin bicara.


Dan gaya kepemimpinannya? Ia tidak punya ajudan, tidak pakai staf ahli politik, memilih membaca WhatsApp langsung dari rakyat. Bagi sebagian orang ini kelemahan, tapi justru di situlah letak kekuatannya. Ia meruntuhkan jarak, mengikis protokol, dan menjadikan dirinya setara dengan rakyat yang dipimpinnya.


Maka, jika ada yang menyebut Dedi sekadar populis, jawabannya sederhana: populisme tanpa isi akan runtuh di tahun pertama. Tapi kebijakan konkret, data yang terbukti, dan keberanian menyentuh masalah rakyat, itulah yang membuat populisme Dedi Mulyadi berdiri di atas fondasi nyata.


Pidato Dedi Mulyadi di Musywil PKS Jabar bukan sekadar laporan kerja, melainkan refleksi politik baru: kombinasi antara ketegasan kebijakan, keberanian menyentuh isu sensitif, keadilan fiskal sebagai visi jangka panjang, dan keakraban humanis dengan rakyat. Ia bukan pemimpin sempurna, dan ia sendiri mengakui itu. Tapi di tengah politik penuh gimmick, hadir seorang gubernur yang bicara dengan data, dengan hati, dan dengan keberanian.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Membahas Pidato Gubernur Dedi Mulyadi di Musywil VI PKS Jawa Barat

Terkini

Topik Populer

Iklan

Close x