Oleh: Rahmat Nusantara
Generasi yang berhiaskan kecakapan ilmu dan kemurnian spiritual adalah suluh harapan bangsa. Mereka ibarat mata air yang mengalirkan kejernihan pengetahuan, sekaligus cahaya yang menuntun jiwa. Inilah impian para pendiri negeri, agar tradisi intelektual tak pernah padam, tetapi terus menyala, mengantarkan tanah air menuju kesejahteraan yang hakiki.
Terlebih hal ini berkaitan langsung dengan istilah yang sering kita dengar dengan nama literasi. Namun dari tahun ke tahun hal ini justru menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai. Minat generasi dalam membaca dan menulis masih tergolong rendah.
Apakah kita bisa menjawab, mengapa banyak anak enggan membaca atau menulis, padahal literasi adalah bekal penting untuk masa depan? Pertanyaan ini seolah menggantung di udara, menunggu jawaban yang jujur. Kita hidup di era ketika pengetahuan bisa diakses hanya dengan sentuhan jari, tetapi justru semakin banyak siswa yang menjauh dari buku dan enggan menulis. Literasi kerap dianggap sekadar tugas sekolah, bukan kebutuhan hidup. Ironisnya, di balik rendahnya minat ini, tersimpan masalah yang lebih dalam: mengapa anak-anak tidak lagi melihat cahaya harapan dalam kegiatan membaca dan menulis?
Bukan menjadi rahasia lagi bahwa kemampuan literasi di negeri ini, khususnya di kalangan pelajar, masih berjalan tertatih. Data demi data dari lembaga terpercaya telah lama menyuarakan kenyataan itu. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, misalnya, mencatat hanya sekitar 10% penduduk Indonesia yang rajin membaca buku. Angka yang terasa begitu kecil, seolah butir pasir di tengah samudra, jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Lantas, apa yang membuat kita begitu jauh tertinggal?
Berbagai tulisan, jurnal, hingga opini publik menyingkap aneka sebab yang berlapis-lapis. Diantara penyebabnya karena fasilitas yang belum merata, budaya membaca yang tak dibiasakan sejak dini, mutu pendidikan yang masih terbatas, hingga kurangnya dukungan lingkungan serta kebijakan yang belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya. Semua itu seperti akar yang menjerat, membuat langkah literasi kita sulit tumbuh menjulang.
Namun, di balik semua alasan itu, ada hal lain yang tak kalah penting, sesuatu yang sering terabaikan, sebuah inti yang lebih dalam, yang sejatinya menentukan apakah benih literasi itu akan mekar atau justru layu sebelum berkembang.
Salah satu alasan penting mengapa kalangan pelajar enggan meningkatkan pemahaman literasi adalah karena mereka merasa literasi bukanlah kebutuhan. Padahal, kita semua tahu, manusia akan lebih mudah mempelajari sesuatu ketika hal itu terasa penting dan relevan dengan hidupnya. Para pelajar masih sering bertanya-tanya, “untuk apa membaca, untuk apa menulis?” Pertanyaan yang sederhana, namun menjadi beban berat bagi para pendidik untuk menjawabnya. Maka di sinilah tugas kita: meyakinkan mereka bahwa literasi bukan sekadar tumpukan huruf, melainkan jendela yang membuka cakrawala. Keyakinan itu tidak cukup disampaikan sekali lalu dilupakan, melainkan perlu ditanam dengan disiplin, diasah dengan kesabaran, dan diajarkan secara berkesinambungan hingga tumbuh menjadi kesadaran dalam diri mereka.
Namun, ada pula faktor lain yang tak kalah mengkhawatirkan, rasa hampa yang dialami pelajar ketika mereka berhasil mengasah kemampuan literasi. Alih-alih mendapat penghargaan, mereka sering kali justru dibungkam. Banyak kisah di lapangan menunjukkan, anak-anak yang cakap berliterasi kerap disalahkan, dimarahi, bahkan dikucilkan saat mencoba menyampaikan ide dan perasaan mereka. Alasan yang paling sering terdengar begitu klasik: “Mereka masih anak-anak, belum tahu apa-apa.” Respon semacam ini perlahan meruntuhkan semangat, membuat mereka terdiam, dan akhirnya enggan melangkah lebih jauh dalam perjalanan literasinya.
Akibat dari semua itu, semangat yang semula menyala perlahan meredup, menjadikan literasi tidak lagi dipandang sebagai cahaya, melainkan bayang-bayang yang menakutkan. Di sinilah peran sekolah dan guru menjadi begitu penting, memberi ruang bagi siswa untuk berekspresi dan menghargai setiap upaya yang mereka lakukan. Literasi pun sebaiknya tidak diajarkan sebatas kewajiban, tetapi dikaitkan dengan hal-hal nyata yang mereka alami, sehingga terasa hidup dan dekat dengan keseharian. Pada akhirnya, motivasi belajar harus tumbuh dari dalam diri mereka sendiri, bukan sekadar paksaan dari luar, agar literasi benar-benar menjadi kebutuhan jiwa, bukan beban pikiran.
Jika kita terus membiarkan mereka kehilangan motivasi berliterasi, maka kita sedang menutup masa depan mereka.