oleh Adrian | Perdana Indonesia
Ketika pusat makin berkuasa dan daerah makin dikekang, otonomi hanya tinggal nama.
Pernyataan keras datang dari Bupati Siak, Afni Zulkifli, di akun instagramnta @afni.zulkifli yang menanggapi sikap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Sang Menkeu tegas menolak kenaikan dana transfer ke daerah (TKD) dengan alasan rentan diselewengkan. Namun bagi daerah penghasil seperti Siak, keputusan ini terasa seperti menutup pintu harapan.
Bayangkan, Participating Interest (PI) dari Blok Rokan yang seharusnya menjadi napas ekonomi daerah, kini hanya setara 1 dolar AS per bulan—sekitar Rp16 ribu. “Lebih banyak penghasilan penjual seblak daripada daerah penghasil minyak,” sindir Afni getir.
Ironisnya, hampir seluruh izin sumber daya alam (SDA) kini ditarik ke pusat. Padahal, limbah dan konflik sosial justru ditanggung daerah. Kini Kabupaten Siak terancam kehilangan Rp300 miliar dari TKD tahun depan, sebagian besar dari sektor pajak SDA.
Yang paling menyakitkan: tanah-tanah luas berstatus HTI dan HGU masih dikuasai korporasi besar—izin dari pusat—sementara rakyat Siak makin sempit ruang hidupnya.
Lebih parah lagi, kewenangan kecil seperti izin jembatan timbang untuk mencegah kerusakan jalan akibat truk ODOL pun ditarik ke Jakarta. “Jalan rusaknya di kampung kami, tapi izinnya di pusat,” keluhnya.
Afni menegaskan, meski kas daerah kering, pemerintah Siak tetap berjuang memperbaiki jalan rusak di Bungaraya dengan bahan seadanya. Tapi kalau situasi ini terus berlanjut, daerah-daerah penghasil akan makin miskin dan rakyat di pelosok makin tak tersentuh pembangunan.
Pertanyaan yang menggema dari Siak hari ini bukan sekadar keluhan, tapi gugatan terhadap arah bangsa:
Masih adakah gunanya otonomi daerah, jika semua kendali kembali ke pusat?
%20(1)-min.png)

%20(1)-min.png)
