Oleh Adrian | Perdana Indonesia
Cicilan receh yang baru dibagikan DSI itu persis seperti meneteskan air ke padang tandus lalu mengumumkannya sebagai “hujan besar”. Padahal ribuan lender sudah terbakar sejak Mei—uang mereka terkunci, janji manis bertebaran, tapi progres nyata nihil. Kini ketika DSI mulai bayar 0,1%–0,2%, mereka ingin dipuji seolah ini prestasi? Tidak. Ini bukti bahwa uang itu ada, hanya selama ini tidak dikembalikan.
Dan yang paling lucu: ada yang menyebut ini sebagai “awal yang baik”. Awal apa, kalau 98–99% dana masih hilang rimbanya? Kalau DSI benar-benar berniat jujur, mereka harus tampil dengan data lengkap—bukan obrolan general seperti: “Sedang proses penagihan,” “Menunggu borrower,” “InsyaAllah.” Syariah itu bukan kalimat religius. Syariah itu transparansi, amanah, dan akuntabilitas. Tiga hal yang justru paling jarang kita lihat dari mereka.
Lebih dari 4.000 lender, lebih dari Rp 1,27 triliun tersangkut, tapi newsletter resmi tak pernah muncul. Rencana pengembalian tak ada. Formula “proporsional” tak jelas. Ada yang modalnya Rp 1–2 juta tak kebagian sepeser pun, sementara kelompok lain sudah menerima cicilan walau kecil. Pertanyaannya sederhana: siapa yang menentukan siapa dibayar dulu? Berdasarkan apa? Dan kenapa datanya tidak dibuka?
DSI boleh berdalih, tapi data tidak bisa disembunyikan selamanya. Kalau mereka bisa mulai mencicil, berarti kemampuan itu ada. Karena itu, Paguyuban menuntut: cicilan harus diperbesar, diperjelas, dan dilanjutkan tanpa berhenti—sampai 100%. Tidak ada lagi alasan. Tidak ada lagi drama. Tidak ada lagi “kami upayakan.”
Ribuan keluarga sedang menunggu kejelasan, bukan konten pencitraan.
Dan kalau DSI pikir kami akan diam hanya karena diberi recehan, mereka salah besar.
Tujuan kami cuma satu: pelunasan total. Karena uang itu bukan sedekah. Bukan hibah. Itu hak lender, dan harus kembali selengkap-lengkapnya.
#dsi #gagalbayardsi #danasyariahindonesia
%20(1)-min.png)

%20(1)-min.png)
