KABARAN.ID | JAKARTA, – Ketegangan di Timur Tengah memuncak seiring ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz, jalur vital yang mengangkut sekitar 20% pasokan minyak dunia. Keputusan parlemen Iran pada 22 Juni 2025 untuk menyetujui penutupan ini, sebagai respons terhadap serangan AS ke fasilitas nuklirnya, memicu spekulasi apakah ini akan menjadi pemicu Arab Saudi turun ke medan perang melawan Iran. Namun, dinamika hubungan yang membaik antara kedua negara, didukung mediasi China, menimbulkan pertanyaan: apakah Arab Saudi benar-benar akan terlibat, atau justru ditekan oleh faktor eksternal seperti tekanan dari Presiden AS Donald Trump?
Selat Hormuz, yang menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab, menjadi sumbu ekonomi global dengan mengangkut hingga 20 juta barel minyak per hari, menurut data Badan Informasi Energi AS (EIA) pada 2022. Penutupan jalur ini dapat memicu lonjakan harga minyak hingga di atas USD 130 per barel, sebagaimana diprediksi oleh analis energi pada Juni 2025, dan mengganggu ekonomi negara-negara pengimpor besar seperti China, India, dan Jepang. Namun, dampak geopolitiknya jauh lebih kompleks, terutama bagi Arab Saudi, yang ekonominya sangat bergantung pada ekspor minyak melalui selat ini.
Hubungan antara Arab Saudi dan Iran, yang sebelumnya tegang akibat perbedaan ideologi dan konflik proxy melalui kelompok seperti Houthi di Yaman dan Hizbullah di Lebanon, menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Pada 2023, China berhasil memediasi normalisasi hubungan diplomatik antara kedua negara, dengan pembukaan kembali kedutaan setelah tujuh tahun terputus. Langkah ini dianggap sebagai upaya menjaga stabilitas kawasan dan melindungi kepentingan ekonomi bersama, termasuk pasokan energi global. Namun, ancaman penutupan Selat Hormuz dapat menguji kekuatan mediasi ini.
Skenario perang langsung antara Arab Saudi dan Iran tampaknya belum menjadi prioritas Riyadh. Data resmi menunjukkan bahwa sejak 2019, Arab Saudi telah mengembangkan jalur ekspor alternatif, seperti pipa Timur-Barat dengan kapasitas 5 juta barel per hari, untuk mengurangi ketergantungan pada Selat Hormuz. Ini menunjukkan strategi defensif untuk menghindari konfrontasi langsung. Meski demikian, risiko eskalasi tetap ada jika insiden memicu persepsi ancaman. Misalnya, jika drone atau serangan menyasar kilang minyak Arab Saudi atau pelabuhan vital seperti Ras Tanura—seperti yang terjadi pada serangan Houthi pada 2019 yang dituduhkan Iran—tekanan domestik dan internasional dapat memaksa Arab Saudi bereaksi.
Di sinilah peran Donald Trump menjadi krusial. Sejumlah analis menduga Trump, yang dilaporkan mempertimbangkan serangan tambahan ke Iran untuk mendukung Israel, dapat memanfaatkan situasi ini untuk mendorong Arab Saudi masuk ke gelanggang. Serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran pada 22 Juni 2025, yang menewaskan ratusan orang menurut Kementerian Kesehatan Iran, meningkatkan ketegangan. Jika insiden di wilayah Arab Saudi difitnahkan melibatkan milisi pro-Iran seperti Houthi atau Hizbullah, Trump dapat menggunakan pengaruhnya—melalui aliansi militer dan ekonomi—untuk menekan Riyadh turun ke medan perang, mengalihkan fokus dari konflik Israel-Iran menjadi Arab Saudi-Iran.
Perang proxy antara kedua negara memang bukan hal baru. Sejak 2015, Arab Saudi memimpin koalisi melawan Houthi di Yaman, yang didukung Iran, dengan lebih dari 150.000 korban tewas hingga 2023 menurut PBB. Konflik ini juga melibatkan serangan terhadap infrastruktur energi, seperti serangan drone ke kilang Aramco pada 2019 yang mengurangi produksi minyak hingga 5,7 juta barel per hari. Jika Selat Hormuz ditutup dan insiden serupa terulang, narasi perang proxy dapat bertransformasi menjadi konfrontasi langsung, terutama jika Trump melihat ini sebagai peluang untuk memperkuat posisi AS di kawasan.
Namun, ada keraguan. Arab Saudi, yang kini fokus pada diversifikasi ekonomi melalui Visi 2030, mungkin enggan terjebak dalam perang yang dapat menghancurkan stabilitas ekonomi mereka. China, sebagai mediator dan pembeli utama minyak Iran, juga memiliki kepentingan untuk mencegah eskalasi. Sementara itu, Israel, yang awalnya menjadi pusat konflik dengan Iran, bisa saja memanfaatkan situasi ini untuk mengurangi tekanan langsung, membiarkan Arab Saudi menjadi penyangga utama.
Kesimpulannya, penutupan Selat Hormuz berpotensi menjadi katalis perang Arab Saudi vs Iran, tetapi keputusan Riyadh akan sangat dipengaruhi oleh dinamika internal dan tekanan eksternal, khususnya dari Trump. Tanpa bukti konkret serangan langsung dari Iran atau proksinya, Arab Saudi cenderung menghindari konfrontasi langsung, memilih diplomasi yang didukung China. Namun, jika insiden diprovokasi atau difitnah, skenario perang proxy yang lama bisa berubah menjadi pertempuran terbuka—sesuatu yang tampaknya sesuai dengan agenda strategis tertentu di Washington. (adr/red)
Penulis : Adrian Jurnalis Kabaran.id