terkini

Ads Google

Iran vs Israel: Drama Perang Timur Tengah, Mau ke Mana?

Redaksi
6/20/25, 01:33 WIB Last Updated 2025-06-19T18:53:24Z

 


oleh Adrian | Jurnalis Kabaran.id

 

Bayangkan Timur Tengah sebagai panggung gladiator, tempat Israel dan Iran saling tatap dengan mata menyala, siap adu kuat. Israel, dengan jet tempur canggih dan AS di belakangnya, bersiap menghantam. Iran, bersenjatakan rudal balistik dan proksi seperti Hizbullah, tak gentar melawan. Babak terbaru konflik mereka bikin dunia was-was: Israel membombardir fasilitas nuklir dan militer Iran, membunuh ratusan orang, sementara Iran membalas dengan ratusan rudal dan drone. Harga minyak dunia melonjak 7%, bursa saham oleng, dan di Indonesia, efeknya mulai terasa—harga BBM naik, dompet serasa menjerit. Lalu, ke depannya bakal seperti apa?


Konflik ini bukan sekadar adu gengsi dua negara. Israel memandang program nuklir Iran sebagai ancaman yang bisa memusnahkan mereka, sementara Iran melihat Israel sebagai “antek Barat” yang harus dilawan demi jadi penguasa kawasan. Tambahan pemain seperti Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, milisi Syiah di Irak, plus AS yang menjaga Israel, serta Rusia dan China yang mengintip dari kejauhan, membuat drama ini makin rumit. Hingga Juni 2025, serangan Israel telah meratakan infrastruktur penting Iran, tapi Teheran tak tinggal diam, membalas dengan ganas. Dunia serasa menonton film laga, tapi dampaknya nyata: minyak mahal, ekonomi dunia goyang, dan Indonesia mulai pusing dengan inflasi. Apa babak selanjutnya?


Salah satu skenario yang mungkin terjadi adalah strategi “pukul lari” dari Israel. Dipimpin Benjamin Netanyahu, yang tengah terjepit isu politik dalam negeri, Israel bisa mempergencar serangan udara ke fasilitas nuklir Iran seperti Natanz dan Fordow, menggunakan bom canggih dari AS. Markas rudal Korps Garda Revolusi Iran juga jadi sasaran, dengan tujuan melumpuhkan program nuklir Iran selama satu dekade. Awalnya, Israel mungkin menang besar—fasilitas Iran hancur, rakyat di Tel Aviv bersorak, dan Netanyahu tampak seperti pahlawan. Tapi Iran bukan tipe yang diam saja. Hizbullah bisa meluncurkan ribuan roket ke Haifa, Houthi menyerang kapal di Laut Merah, dan Iran bahkan mungkin menutup Selat Hormuz, jalur vital 20% minyak dunia. Harga minyak bisa tembus $150 per barel, membuat harga BBM di Indonesia melonjak, sembako ikut naik, dan IHSG anjlok. Belanja bulanan jadi horor. Lebih parah lagi, serangan ini malah menyatukan rakyat Iran di belakang pemerintah yang tadinya goyah, mendorong mereka membangun ulang nuklir dengan bantuan Rusia atau China. Kemenangan Israel cuma seumur jagung, tapi sakitnya panjang.


Kalau skenario pukul lari ini kebablasan, dunia bisa masuk ke drama yang lebih besar: perang regional. Bayangkan Hizbullah menggempur Israel habis-habisan, atau Iran nekat menyerang pangkalan AS di Qatar. AS, yang tadinya cuma jadi penonton, terpaksa ikut main, mengerahkan kapal induk untuk membombardir markas Garda Revolusi. Arab Saudi dan UEA, yang sudah lama kesal dengan Iran, meminjamkan pangkalan untuk operasi anti-Iran. Di sisi lain, proksi Iran tak tinggal diam—Houthi menyerang kilang minyak Saudi, milisi Syiah menargetkan kedutaan AS di Irak, dan Suriah membuka front di Dataran Tinggi Golan. Timur Tengah jadi medan perang raksasa. Rusia mungkin menyuplai senjata ke Iran, sementara China memblokir sanksi anti-Iran di PBB, keduanya diuntungkan oleh minyak mahal. Puluhan ribu orang tewas, jutaan mengungsi dari Lebanon, Suriah, dan Iran, membuat krisis Gaza 2023 tampak kecil. Selat Hormuz macet, minyak bisa $200 per barel, dan ekonomi dunia, termasuk Indonesia, kena pukulan keras. Di sini, harga segala sesuatu naik, ekspor macet, rupiah jatuh bebas—beli mi instan pun mikir dua kali. Skenario ini punya peluang sedang, karena AS di bawah Donald Trump cenderung ogah perang besar, tapi serangan ke aset mereka bisa memaksa balasan. Bahaya terbesarnya? Salah langkah, seperti Iran menyerang kapal sipil atau Israel membunuh tokoh penting Iran.


Ada juga skenario yang bikin jantungan: bayang-bayang nuklir. Israel, yang diyakini punya 80-200 hulu ledak nuklir, ketakutan kalau Iran benar-benar jadi kekuatan nuklir. AS bilang Iran belum punya senjata nuklir, tapi serangan Israel ke Natanz bisa memaksa Teheran nekat, mempercepat program nuklir dengan bantuan teknologi dari Korea Utara. Misalnya, Iran memperkaya uranium hingga 90% di bunker rahasia dan menggelar uji coba nuklir kecil. Dunia kaget, Iran resmi masuk klub nuklir. Israel panik, tapi serangan nuklir preventif sulit—AS tak akan setuju, dan risiko radiasi di kawasan padat penduduk terlalu besar. Alternatifnya, serangan siber atau sabotase ala Mossad. China dan Rusia mengecam Israel, AS dan Eropa memperketat sanksi ke Iran, tapi PBB cuma bisa rapat tanpa hasil. Meski perang nuklir langsung kecil kemungkinannya, “bom kotor” dari proksi seperti Hizbullah bisa jadi ancaman nyata—bayangkan Tel Aviv kena serangan radiasi, mengerikan. Peluangnya kecil, tapi tak nol, karena Iran yang terdesak mungkin tergoda langkah ekstrem, meski tahu status nuklir bakal bikin mereka dikucilkan dunia.


Di tengah asap mesiu, ada secercah harapan: damai, meski terpaksa. China, Qatar, atau Turki mungkin berhasil menyeret keduanya ke meja perundingan. Iran bilang, “Kami pause, asal Israel berhenti.” Israel, tertekan tekanan dunia, akhirnya setuju. Qatar, yang pandai main dua kaki, jadi mediator, sementara China menawarkan bantuan ekonomi untuk bangun kembali Iran. Iran memperlambat program nuklir di bawah pengawasan ketat IAEA, Israel janji tak menyerang lagi. Keduanya manyun, tapi perang reda. Proksi seperti Hizbullah meredam, tapi ketegangan tetap— Iran dan Israel balik ke mode “perang dingin”. Minyak dunia turun ke $80 per barel, inflasi mereda, dan di Indonesia, harga BBM tak lagi bikin pusing, IHSG mulai pulih. Peluangnya kecil, karena Iran ogah negosiasi selama diserang, dan Netanyahu tak punya alasan mundur. Tapi kalau minyak makin gila dan ekonomi dunia teriak, damai bisa dipaksa.


Siapa yang memegang kendali ending drama ini? Netanyahu, yang bermain dengan api untuk selamatkan posisi PM, bisa menang besar kalau sukses, tapi gagal berarti tamat. Pemerintah Iran memanfaatkan perang untuk menyatukan rakyat, tapi korban banyak bisa memicu kerusuhan. Trump di AS pengen santai, tapi serangan ke aset Amerika bisa memaksanya bertindak, dan gayanya yang tak terduga jadi faktor besar. Ekonomi dunia, terutama minyak, juga punya peran—harga minyak yang gila bikin China, Eropa, hingga Indonesia menyerukan damai. 


Konflik Iran-Israel ini seperti sinetron tanpa akhir. Pukul lari bikin Israel unggul sebentar, tapi Iran balas dendamakan. Perang besar bisa menyeret Timur Tengah ke jurang, dan Indonesia ikut kena—BBM mahal, ekonomi lesu. Nuklir? Semoga cuma mimpi buruk. Damai? Sulit, tapi bukan tak mungkin kalau dunia kompak mendesak. Yang jelas, drama ini masih panjang. Pantau berita terpercaya, karena plot twist bisa datang kapan saja!

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Iran vs Israel: Drama Perang Timur Tengah, Mau ke Mana?

Terkini

Topik Populer

Iklan

Close x