Oleh Adrian | Perdana Indonesia
Ada sebuah pepatah lama dalam politik: “kekuasaan itu menggoda, dan kekuasaan yang berlipat ganda menggoda berlipat ganda pula.” Dalam diri Fahri Hamzah hari ini, kita menyaksikan pepatah itu menjelma nyata: ia berdiri di dua panggung sekaligus — sebagai Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan sebagai Komisaris Bank BTN. Dari luar tampak gagah, seolah menambah daya pengaruh; tapi dari kacamata tata kelola negara, ia sedang berjalan di atas tali tipis yang menjembatani kepentingan publik dengan godaan pribadi.
Sebagai jurnalis yang sudah tahunan mencatat kisah jatuh bangun para pejabat negeri ini, saya melihat ada tujuh alasan mengapa rangkap jabatan itu bisa membuka ruang korupsi.
---
1. Konflik Kepentingan yang Melekat
Di satu sisi, Fahri adalah pengambil kebijakan perumahan rakyat. Di sisi lain, ia mengawasi bank yang hidup dari kredit perumahan. Ini seperti hakim yang sekaligus jadi pemilik perusahaan pengacara: satu keputusan bisa menguntungkan dirinya sendiri. Dalam teori tata kelola, ini disebut conflict of interest. Dalam praktik politik Indonesia, inilah pintu pertama menuju korupsi.
Contoh modus: ia bisa mendorong aturan agar proyek rumah subsidi hanya boleh memakai BTN sebagai penyalur tunggal. Terlihat sah di atas kertas, tetapi praktiknya mengunci pasar untuk lembaga tempat ia duduk. Dari situ muncul peluang “fee proyek” atau titipan kepentingan.
---
2. Diskresi yang Bisa Diperdagangkan
Seorang wakil menteri boleh jadi tidak memegang palu anggaran, tapi ia memegang pengaruh: memberi arah, menekan birokrasi, atau sekadar memberi sinyal kepada pelaku usaha. Diskresi politik adalah mata uang gelap: bisa dipakai untuk menukar kepentingan, bisa diperdagangkan untuk proyek, bisa pula dijadikan tameng bagi kawan dekat.
Contoh modus: menitipkan proyek kepada pengembang tertentu. BTN diarahkan memberi kredit ke perusahaan tersebut, lalu sebagai balas jasa, ada komisi mengalir dalam bentuk uang atau saham.
---
3. Akses Informasi yang Asimetris
Bayangkan seorang pejabat yang tahu semua rencana proyek perumahan: dari lokasi pembangunan, nilai kontrak, hingga siapa saja pengembangnya. Kini bayangkan pejabat yang sama duduk di kursi pengawas bank pemberi kredit proyek-proyek itu. Informasi adalah emas. Dan emas yang tak diawasi, cepat atau lambat bisa dicairkan menjadi rente.
Contoh modus: ia tahu pemerintah akan membangun 50 ribu rumah di suatu daerah tahun depan. Informasi itu diberikan lebih dulu ke pengembang tertentu. Pengembang menyiapkan lahan, mengatur kredit BTN, dan proyek sudah terkunci sebelum publik tahu.
---
4. Budaya Patronase Politik
Di negeri ini, kursi komisaris BUMN terlalu sering bukan soal profesionalitas, melainkan hadiah politik. Jika jabatan di BTN adalah reward, maka ada hutang budi yang mesti dibayar. Hutang semacam itu jarang dibayar dengan uang pribadi; biasanya dibayar dengan memelintir kebijakan, dengan mengarahkan kredit, atau dengan membiarkan pintu rente terbuka lebar.
Contoh modus: BTN dipaksa mendukung proyek perumahan milik kolega partai atau pengusaha dekat lingkaran politik. Kredit cair bukan karena kelayakan bisnis, tapi karena kedekatan politik. Bank negara pun berubah menjadi ATM politik.
---
5. Pengawasan yang Tumpul
Secara teori, komisaris adalah pengawas direksi. Tapi jika pengawasnya bagian dari lingkar kekuasaan, siapa yang berani mengawasi pengawas? Kita pernah melihat banyak komisaris BUMN yang duduk manis tanpa taring. Ketika pengawas tidak berfungsi, direksi liar, dan celah korupsi melebar. Rangkap jabatan justru memperparah: orang yang seharusnya dikontrol justru jadi bagian dari sistem yang saling melindungi.
Contoh modus: komisaris tahu direksi melanggar aturan, tapi memilih diam karena ada kepentingan bersama. Diamnya itu bukan netral, melainkan bentuk silent approval — bentuk korupsi pasif yang sama berbahayanya.
---
6. Fokus Terbelah, Integritas Renta
Rangkap jabatan sering dipuji sebagai bukti “kapasitas besar.” Nyatanya, ia lebih sering berarti kurang fokus. Seorang pejabat yang harus bolak-balik mengurus kementerian dan rapat komisaris tak mungkin menajamkan pengawasannya. Di ruang-ruang longgar itulah biasanya penyalahgunaan kekuasaan menyelinap, seperti semut yang menemukan retakan di tembok rumah.
Contoh modus: karena sibuk, ia tak sempat memeriksa detail laporan BTN. Direksi lalu mengambil keputusan bermasalah, dan ketika dipertanyakan cukup berkelit: “Komisaris tahu kok.” Padahal, pengawas terlalu sibuk untuk benar-benar mengawasi.
---
7. Preseden Buruk dalam Sejarah
Kita tak perlu jauh mencari contoh. Dari era Orde Baru hingga reformasi, pejabat rangkap jabatan dengan BUMN kerap berakhir di meja KPK. Skandal BLBI, kredit macet BUMN, atau proyek fiktif pembangunan, semuanya pernah melibatkan politisi yang duduk di dua kursi. Sejarah mengajarkan: rangkap jabatan bukan sekadar simbol kekuasaan, tapi juga undangan terbuka bagi praktik korupsi.
Contoh modus: proyek fiktif. Pejabat mengunci kebijakan, bank mencairkan dana, proyek hanya ada di atas kertas. Rakyat rugi, negara buntung, elite politik untung.
Apakah Fahri Hamzah pasti akan jatuh ke dalam lubang itu? Tidak ada kepastian. Tetapi sejarah, struktur, dan godaan politik memberi kita cukup alasan untuk cemas. Demokrasi yang sehat menuntut pemisahan kepentingan, bukan penggandaan jabatan. Dan bila negeri ini terus membiarkan politisi duduk di dua kursi sekaligus, jangan kaget bila suatu hari kursi itu patah, lalu meruntuhkan bukan hanya nama, tapi juga harapan rakyat yang menaruh kepercayaan.