Oleh: Kang Nandang, Ketum Save Jabar
Sampurasun warga Jawa Barat di manapun Anda berada. Dari Cikarang hingga Ciamis, dari Bekasi sampai Banjar, dari pelosok Garut sampai puncak Gunung Ciremai. Salam hangat dari Jakarta hingga Papua.
Malam ini kita bersorak untuk Persib Bandung. Stadion bergemuruh, jalanan tumpah ruah. Bobotoh bersorak, sebagian konvoi bahkan nekat masuk tol. Sayangnya, ada kabar duka: seorang Bobotoh dikabarkan meninggal jatuh dari Jembatan Pasopati. Sebuah nyawa hilang di tengah euforia. Kita doakan semoga husnul khatimah.
Namun di balik sorak sorai itu, diam-diam pabrik-pabrik di Jawa Barat berguguran. PHK terjadi diam-diam. Pengangguran tumbuh di balik pagar-pagar industri yang kini menyisakan gerbang kosong dan spanduk “dijual”. Tapi justru di saat inilah, kita diberi kabar: Indonesia dinobatkan sebagai negara paling bahagia di dunia oleh Harvard University.
Tentu kita bertanya-tanya. Negara yang presidennya sibuk berpikir soal IKN, tapi rakyatnya sibuk cari kerja. Negara yang hutangnya menggunung, harga sembako tak terjangkau, lapangan kerja seret, tapi kok disebut paling bahagia?
Harvard menjelaskan: ini bukan soal saldo di rekening. Ini soal hati. Bahwa bangsa kita kaya hati. Bahwa “mangan ora mangan asal kumpul” adalah fondasi bahagia kita. Bahwa sabar dan nerimo adalah kekuatan yang tak dimiliki bangsa-bangsa lain.
Ya, kita setuju—sebagian. Tapi di titik ini, kita juga harus berani kritis. Apakah “kaya hati” rakyat kita ini tidak sedang dijadikan tameng oleh penguasa yang gagal hadir di tengah penderitaan rakyat? Apakah “nerimo” rakyat kita tidak sedang dijadikan kartu kebal oleh pejabat dan elit ekonomi yang bebas merampok, mempermainkan hukum, dan memperjualbelikan kedaulatan?
Kita adalah bangsa yang sabar. Tapi sabar itu bukan berarti diam terhadap ketidakadilan. Nerimo itu bukan berarti tunduk pada kebobrokan. Kaya hati itu bukan berarti miskin logika.
Hari ini, kita ditertawakan oleh ironi. Negara ini punya orang-orang terkaya di Asia Tenggara, tapi juga punya jutaan rakyat yang makan sehari sekali. Kita punya gedung pencakar langit, tapi juga punya anak-anak yang sekolah di atas rakit. Kita punya pejabat yang tiap hari bicara tentang “keadilan sosial”, tapi tiap malam ikut tender proyek dengan harga gelap.
Benar, Indonesia jadi negara paling bahagia menurut Harvard. Tapi jangan sampai kebahagiaan kita itu berubah menjadi kebutaan kolektif. Kita harus tetap bangun. Tetap waras. Tetap berani bertanya: Bahagia untuk siapa? Sejahtera untuk siapa? Siapa yang sebenarnya sedang dirayakan dalam survei ini?
Kepada penguasa dan pengusaha: cukup sudah kalian menghibur diri dengan survei-survei. Rakyat tidak butuh gelar dari luar negeri. Rakyat butuh pekerjaan, pendidikan, dan harga yang masuk akal.
Kepada rakyat: jangan biarkan hati yang kaya menjadi alasan untuk terus dimiskinkan. Jangan jadikan nerimo sebagai kuburan bagi perlawanan terhadap ketidakadilan. Jangan biarkan sabar menjadi dalih untuk tidak melawan kebobrokan.
Selamat untuk Persib Bandung. Tapi mari kita ingat: kemenangan sejati bukan hanya di lapangan bola. Tapi ketika rakyat kecil menang melawan ketimpangan. Ketika keadilan bisa dirasakan hingga pelosok kampung, bukan hanya di mimbar-mimbar kekuasaan.
Hatur nuhun. Hapunten upami lepat. Simkuring teu pinter, mung hoyong jujur.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
—Kang Nandang, Ketua Umum Save Jabar