Dalam menjalankan sistemnya, hampir semua organisasi menerapkan gaya kepemimpinan yang berlandaskan ikatan dan interaksi yang dilakukan secara bersamaan layaknya teman sejawat atau biasa dikenal dengan istilah prinsip kolektif kolegial. Hal ini bertujuan agar setiap kepengurusan mempunyai hak yang sama untuk menyampaikan pendapat, ide atau masukan untuk organisasi tersebut. Atau lebih umumnya organisasi itu berjalan berdasarkan musyawarah dan keputusan bersama.
Diktatoris dalam konsep organisasi atau lembaga biasanya merupakan karakter kepemimpinan yang cenderung mendikte, angkuh, sombong dan suka memaksa kehendak sendiri. Selain itu karakter diktatoris adalah karakter yang mempunyai jiwa otoriter, sering membuat keputusan tanpa konsultasi, tidak demokratis sehingga memperbesar peluang dalam sentralisasi kekuasaan.
Di atas kertas, organisasi kolektif kolegial menjanjikan pemerataan suara dan keputusan bersama. Namun dalam praktiknya, tidak jarang sosok dominan menggerus esensi kolektivitas dan bertindak layaknya seorang diktator.
Diantara penyebab munculnya karakter diktatoris adalah karena sikap pesimis dari beberapa kepengurusan yang ada sehingga memicu seorang atau beberapa orang lain yang mempunyai karakter dengan vokal pengaruh akan mendominasi arah kebijakan. Selain itu disebabkan juga karena kepengurusan yang terlalu permisif, dalam artian sudi memberikan kelonggaran atau kewenangan yang terlalu leluasa padahal seharusnya perlu untuk dikendalikan atau diawasi.
Hal tersebut akan menimbulkan dampak buruk yang akan menggerus kolektivitas dalam berorganisasi. Diantara dampaknya adalah hilangnya semangat kolegialitas yang membuat beberapa kepengurusan merasa tidak dihargai keberadaannya. Dampak lain yang akan muncul adalah memicu terjadinya konflik internal organisasi, dimana biasanya terjadi karena kepemimpinan diktatoris sering membuat keputusan sepihak tanpa melibatkan kepengurusan yang lain yang akan memunculkan kecemburuan sosial. Selain itu dampak yang akan timbul adalah tidak berjalannya regenerasi yang akan membuat citra organisasi menjadi buruk.
Ketika satu orang memonopoli wacana dan keputusan, maka kolektif hanyalah formalitas, dan kolegial hanya tinggal nama.
Namun tidak menutup kemungkinan karakter tersebut bisa dicegah bahkan dihapus. Banyak solusi yang bisa dilakukan sebagai refleksi. Pertama perlu melakukan penguatan mekanisme checks and balances dalam menjalankan roda organisasi, yaitu prinsip saling mengawasi dan mengimbangi antar elemen dalam suatu sistem agar tidak ada pihak yang dominan atau menyalahgunakan kekuasaan. Kedua dengan menjaga budaya musyawarah, sekecil apapun urusan yang akan dibahas jika terkait dengan organisasi maka seluruh kepengurusan harus ikut andil dalam membahas urusan tersebut, jangan hanya menjadi prosedural namun harus substansial. Terakhir penanaman pemahaman bahwa dalam kepemimpinan organisasi yang kolektif kolegial memerlukan sikap kedewasaan dan kesadaran yang hakiki bahwa semua anggota merupakan pemangku jabatan yang mempunyai tanggung jawab yang setara.
Mengembalikan ruh kolektif-kolegial dalam roda organisasi menuntut keberanian sikap setiap anggota untuk bersuara, bukan sekadar mengikuti arus.
Sebagai penutup akan ditegaskan kembali bahwa karakter diktatoris adalah sebuah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip kolektif kolegial. Ia tak boleh dibiarkan merajalela dalam memanfaatkan kekuasaan individu atau golongan. Mari kita lebih kritis dan reflektif falam menjaga nilai demokratis dalam kepemimpinan.
oleh Rahmat Nusantara