Oleh Adrian | Jurnalis Kabaran.id
Pada malam ini, 21 Juni 2025, pukul 09:52 WIB, dunia geopolitik tampak semakin panas dengan pertemuan Prabowo Subianto dan Vladimir Putin di St. Petersburg beberapa hari lalu. Ini membuka babak baru kerjasama nuklir damai antara Indonesia dan Rusia, menjanjikan energi murah via reaktor modular kecil (SMR) 500 MW untuk PLTN, mendukung target net zero 2060. Namun, di balik ini, ada tantangan terhadap dominasi Amerika yang menguasai pasar nuklir lewat Westinghouse, terutama saat AS sibuk dukung Israel di konflik dengan Iran.
Teknologi iradiasi pangan dari Rusia menawarkan solusi cerdas, memperpanjang umur simpan beras dan sayuran, mengatasi kerugian pasca-panen petani Indonesia. Ini relevan jika konflik Iran-Israel mengganggu logistik global. Amerika, dominan di agrikultur modern, mungkin lihat ini sebagai saingan, menambah urgensi langkah ini di tengah potensi gangguan rantai pangan.
Produksi radioisotop untuk terapi kanker lewat kerjasama ini membawa harapan medis, tapi tak lepas dari bayang-bayang senjata nuklir. Amerika, dengan 5.000+ hulu ledak, tekan Iran yang kini mengayak uranium hingga 83,7%. Serangan Israel ke Natanz dan Arak pada 13 Juni 2025, diikuti balasan Iran, meningkatkan risiko eskalasi.
Pelatihan talenta muda nuklir bersama Rusia jadi investasi jangka panjang, menantang dominasi pendidikan nuklir AS yang andalkan Jepang-Eropa. Ditengah modernisasi senjata AS seperti rudal Sentinel, jika Iran berkembang nuklir dengan dukungan Rusia dan Indonesia terlibat, tekanan AS bisa naik, mengancam stabilitas.
Amerika memimpin tatanan nuklir dengan NATO dan Israel, yang punya 80-90 hulu ledak tak diakui. Kerjasama Indonesia-Rusia bisa jadi celah, terutama jika Iran, dengan uranium 60% untuk sembilan bom, didukung lebih lanjut. Ini picu ancaman sanksi atau intervensi AS, tarik Indonesia ke persimpangan geopolitik rumit.
Di tengah potensi perang nuklir Iran-Israel, aliansi ini bukan cuma soal teknologi, tapi perjuangan hegemoni Amerika vs ambisi Rusia-Iran. Jika konflik pecah, dampaknya global—ekonomi runtuh, lingkungan hancur—membuat posisi Indonesia kian krusial di panggung dunia.