Oleh: Adrian, Sekretaris SAVE Jabar
Bandung, 23 Juni 2025 – Pagi ini, suara Kang Nandang, Ketua Umum Solidaritas Aksi Visi Empati Jawa Barat (SAVE Jabar), menggema melalui siaran langsung di platform media sosial youtube . https://www.youtube.com/live/9wTkPD5l-TI?si=WqxnlPzHPnqYBP0n
Dengan penuh semangat, ia menyapa warga Jawa Barat dari Kuningan hingga Pangandaran, memuji langkah Presiden Prabowo Subianto yang tengah mempersiapkan program Sekolah Rakyat. Program ini, yang rencananya diresmikan Juli 2025, disebut sebagai terobosan strategis untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi melalui pendidikan berkualitas bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Sebagai sekretaris SAVE Jabar, saya melihat inisiatif ini sebagai harapan baru, meski tantangan pelaksanaan dan sosialisasi masih membayangi.
Sekolah Rakyat: Visi Besar dengan Anggaran Jumbo
Program Sekolah Rakyat dirancang sebagai sekolah berasrama semi-kedinasan, menyerupai Krida Nusantara atau STP versi pelajar miskin. Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025, program ini melibatkan satuan tugas lintas kementerian dan pemerintah daerah untuk mempercepat pengentasan kemiskinan ekstrem. Target awal, 100 sekolah akan dibuka pada Juli 2025, meski saat ini baru 65 lokasi yang siap direnovasi. Setiap sekolah membutuhkan lahan minimal 8,5 hektar dan dana sekitar Rp100 miliar, dengan total anggaran tahap pertama diperkirakan mencapai Rp5 triliun dari APBN dan Rp5 triliun lagi dari sektor swasta untuk 100 sekolah tambahan.
Sekolah ini akan menampung 9.780 siswa dari keluarga miskin, berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Dapodik, dengan 396 rombongan belajar (rombel) untuk jenjang SD, SMP, dan SMA. Sistem asrama dirancang untuk intervensi pendidikan dan sosial yang intensif, didukung BUMN seperti PLN dan Telkom untuk menyediakan listrik dan internet. Sebanyak 1.554 guru P3K dengan sertifikat pendidik juga telah disiapkan, dengan proses seleksi rampung akhir Juni 2025.
Menurut Kang Nandang, program ini adalah langkah konkret untuk memotong “urat nadi kemiskinan” yang masih menjerat 60,2% rakyat Indonesia di bawah garis kemiskinan. Ia juga mengapresiasi Prabowo yang mencabut kebijakan “cyber pungli” era Jokowi, yang dinilainya tidak efektif, serta menyelesaikan sengketa LPG 3 kg dan polemik lain seperti sengketa empat pulau di Aceh.
Dukungan Publik Tinggi, Tapi Sosialisasi Lemah
Survei Litbang Kompas pada 7-12 April 2025 mencatat 94,4% masyarakat mendukung program Sekolah Rakyat, dengan 83,9% percaya program ini efektif menurunkan angka putus sekolah dan kemiskinan. Dukungan ini sejalan dengan visi SAVE Jabar yang sejak lama mengadvokasi pendidikan inklusif. Namun, Kang Nandang menyoroti kelemahan sosialisasi teknis. “Rakyat belum paham mekanisme penerimaan siswa, tata kelola, dan layanan,” ujarnya, mengutip komentar warganet seperti Mamas Rasyid yang meminta penjelasan lebih rinci.
Sebagai perbandingan, program serupa di masa lalu seperti MAN Cendekia di era Presiden Habibie menunjukkan potensi besar sekolah berasrama terintegrasi. Namun, keberlanjutannya terhambat pergantian rezim, seperti yang terjadi pada Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus (MANPK). Ini menjadi pengingat bahwa Sekolah Rakyat harus memiliki roadmap jangka panjang agar tak sekadar jadi proyek sesaat.
Tantangan: Infrastruktur, Lahan, dan Integritas
Meski ambisius, program ini menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, realisasi 100 sekolah pada Juli 2025 terancam molor karena baru 65 lokasi siap. Kedua, penyediaan infrastruktur seperti listrik dan internet di daerah terpencil masih sulit. Kang Nandang berharap sekolah ini diprioritaskan di wilayah tertinggal seperti Garut Selatan, Cianjur Selatan, atau Pangandaran, bukan di kota besar, dengan muatan lokal yang relevan—misalnya, pertanian di Garut atau kelautan di Pangandaran.
Ketiga, rekrutmen 1.554 guru P3K harus tuntas tepat waktu agar kegiatan belajar mengajar (KBM) bisa dimulai pertengahan Juli. Keempat, penyediaan lahan 8,5 hektar per sekolah masih terkendala di beberapa daerah. Terakhir, Kang Nandang menekankan pentingnya kurikulum yang tak hanya melatih kecerdasan fisik dan intelektual, tetapi juga menanamkan amanah, kejujuran, dan integritas. Ia mengkritik lulusan sekolah kedinasan seperti Akpol atau Akmil yang, meski unggul secara teknis, kerap gagal menekan korupsi. “Sekolah Rakyat harus ciptakan alumni yang masagi—cageur, bener, pinter, singer,” katanya, merujuk konsep Pancawaluya ala Dedi Mulyadi.
SAVE Jabar: Dukung, Awasi, dan Kritik
Sebagai bagian dari SAVE Jabar, saya mendukung penuh visi Sekolah Rakyat yang sejalan dengan perjuangan kami untuk kesejahteraan warga miskin. Kisah sukses tokoh seperti Gubernur Jabar Dedi Mulyadi, yang berasal dari keluarga sederhana dan naik kelas melalui pendidikan, menjadi bukti bahwa pendidikan adalah kunci. Namun, kami juga berkomitmen mengawasi agar dana Rp10 triliun tidak disalahgunakan oknum, seperti yang sering merusak program pemerintah di masa lalu.
Pemerintah perlu memperkuat sosialisasi, memastikan transparansi seleksi siswa, dan menjaga keberlanjutan program. Sebagai perbandingan, program Bantuan Siswa Miskin (BSM) era 2008-2014 berhasil menurunkan angka putus sekolah sebesar 10,3% (data Kemendikbud 2015), tetapi gagal mencapai target karena distribusi yang kurang tepat sasaran. Sekolah Rakyat harus belajar dari kasus ini dengan memastikan DTKS dan Dapodik benar-benar valid.
Harapan untuk Jawa Barat dan Indonesia
Jawa Barat, dengan jatah 9-10 sekolah, memiliki peluang besar menjadi model sukses Sekolah Rakyat. Kami di SAVE Jabar mendorong Pemprov Jabar, di bawah Gubernur Dedi Mulyadi, untuk menyiapkan lahan di daerah tertinggal dan mengintegrasikan muatan lokal seperti industrialisasi di Karawang atau digitalisasi di Bekasi. Program ini bukan sekadar janji politik, tetapi investasi jangka panjang untuk generasi masa depan.
Sekolah Rakyat adalah langkah berani Prabowo Subianto. Dengan dukungan publik yang tinggi, program ini berpotensi mengubah wajah pendidikan Indonesia. Namun, tanpa sosialisasi yang kuat, pengawasan ketat, dan komitmen keberlanjutan, risiko kegagalan tetap ada. SAVE Jabar siap menjadi mitra kritis pemerintah, memastikan mimpi besar ini tak hanya tinggal puing-puing.