terkini

Ads Google

Fahri Hamzah Dorong Naikkan Pajak Rumah Tapak

Redaksi
8/04/25, 11:21 WIB Last Updated 2025-08-04T04:21:26Z


by Adrian | Perdana TV


Pernyataan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah tentang rencana menaikkan pajak rumah tapak di perkotaan demi mendorong masyarakat pindah ke hunian vertikal, menyalakan perdebatan klasik soal keadilan ruang kota dan siapa yang sesungguhnya dikorbankan dalam nama efisiensi.


Melihat wacana ini bukan sekadar persoalan teknokratis. Ini adalah soal keberpihakan. Siapa yang akan paling terdampak jika rumah tapak dipajaki tinggi? Tentu bukan kalangan elit dengan deretan properti di kawasan premium, melainkan kelas menengah ke bawah yang telah menetap turun-temurun di pinggir kota, menggantungkan hidup dari aktivitas berbasis lahan seperti pertanian, usaha rumahan, atau bahkan sekadar punya halaman untuk menjemur pakaian.


1. Logika Pajak Tinggi: Untuk Siapa dan Mengapa?


Fahri menyebut:


 “Yang bikin rumah landed pajaknya dinaikin aja sampai dia nggak bisa tinggal di landed. Pasti dia akan tinggal di rumah susun.”




Ini adalah logika paksaan. Alih-alih mendorong masyarakat melalui insentif dan edukasi, masyarakat dipaksa meninggalkan gaya hidup rumah tapak melalui tekanan fiskal. Seolah-olah, satu-satunya solusi padat kota adalah memiskinkan pemilik rumah tapak agar “menyerah” dan berpindah ke rusun. Ini bukan urban planning—ini pengusiran diam-diam.


2. Masalahnya Bukan Rumah Tapak, Tapi Tata Ruang yang Serampangan


Persoalan sesungguhnya bukan semata rumah tapak, melainkan bagaimana ruang kota dikelola. Lahan perkotaan habis bukan karena rakyat kecil membangun rumah tapak, tapi karena alih fungsi lahan secara brutal: perumahan elit, kawasan komersial, hingga apartemen mewah yang kerap kosong tak berpenghuni. Di banyak kota besar Indonesia, yang justru memonopoli tanah adalah korporasi properti, bukan warga biasa.


3. Subsidi di Hulu: Gagasan Progresif Tapi Belum Selesai


Di sisi lain, usulan Fahri untuk mengalihkan subsidi dari "ujung" ke "hulu", yakni dengan menggratiskan atau menyubsidi harga tanah, justru menarik:


“Tanah 40% dari komponen biaya... Jika tanah sudah digratiskan atau diberikan subsidi, maka harga rumah akan turun.”




Ini ide yang masuk akal. Pemerintah seharusnya memang membeli atau menguasai tanah lebih awal untuk perumahan rakyat, bukan sekadar memberi subsidi pembelian rumah di akhir yang nilainya tak sebanding dengan harga pasar.


Namun kembali ke pokok persoalan: jika distribusi tanah tetap dikuasai segelintir pengembang, maka subsidi pun akan kembali dinikmati oleh kelas menengah atas dan investor, bukan warga urban miskin.


4. Urbanisme Tidak Bisa Berdiri di Atas Tekanan Pajak


Merancang kota tidak cukup dengan menaikkan pajak rumah tapak. Perlu visi menyeluruh: transportasi publik yang terintegrasi, ruang terbuka hijau yang terjaga, dan hunian vertikal yang manusiawi. Rusun bukan gudang manusia. Jika ingin rakyat mau tinggal di hunian vertikal, pastikan mereka bisa hidup layak di sana: dengan akses air, udara, cahaya, dan ruang sosial yang sehat.


Gagasan Pak Fahri punya niat baik: menertibkan kota. Tapi jangan sampai kita menertibkan rakyat biasa, sementara yang mengacaukan tata ruang dibiarkan hidup nyaman dengan diskon pajak dan perizinan kilat.


Kota bukan hanya deretan beton ke langit. Kota adalah ruang hidup, tempat orang bertumbuh, bercakap, dan berakar. Dan tidak semua akar itu bisa dipindahkan ke lantai 20 tanpa luka.


KI

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Fahri Hamzah Dorong Naikkan Pajak Rumah Tapak

Terkini

Topik Populer

Iklan

Close x