by Adrian | Perdana TV
Jika abolisi ibarat penghapus, maka kali ini ia menghapus lebih dari sekadar tinta di atas kertas hukum—ia menghapus noda yang dengan sengaja dilumurkan ke nama Tom Lembong. Namun, justru dari situ kita tahu ada yang janggal: kalau benar ia bersalah, mengapa negara harus turun tangan menghapus kasusnya? Dan jika abolisi akhirnya diberikan, bukankah itu pengakuan tak langsung bahwa semua tuduhan hanyalah panggung sandiwara, dan Tom hanyalah aktor yang dipaksa memerankan penjahat dalam cerita orang lain?
Di balik kriminalisasi selalu ada dalang—mereka yang tak suka melihat seseorang berjalan tegak, bicara jujur, atau menolak ikut menari mengikuti gendang kekuasaan. Tom Lembong, dengan rekam jejak internasional dan keberaniannya, mungkin dianggap batu kerikil di jalur yang harus dilapangkan. Apa cara termudah menyingkirkan batu itu? Bukan debat, bukan kritik, melainkan jerat pasal, berita sensasional, dan label “korup” yang disebar cepat seperti racun.
Motifnya? Kekuasaan, balas dendam, dan uang. Ada yang ingin memotong sayapnya agar ia tak pernah terbang lebih tinggi dari yang diizinkan. Ada yang ingin mengirim pesan menakutkan kepada pejabat lain: jangan coba-coba keluar jalur, atau kau akan bernasib sama. Bahkan lebih kejam lagi, ada motif untuk menghapus nama Tom dari peta, agar ia tak lagi jadi inspirasi atau ancaman.
Dan kini, abolisi itu—yang digembar-gemborkan sebagai “demi persatuan”—muncul seperti selembar surat pengakuan: ya, kami salah, tapi jangan tanya siapa yang membuatnya salah. Dalang tetap bersembunyi di balik tirai tebal kekuasaan, tanpa wajah, tanpa nama. Kita dibiarkan menatap panggung kosong, sementara boneka yang tadinya dipermalukan kini dibebaskan—tapi tali yang menggerakkan boneka itu, tak pernah terpotong.
Itulah drama paling getir dari negeri ini: bahkan ketika kebenaran akhirnya menang, ia datang dengan harga yang pahit—dan dengan misteri yang sengaja dibiarkan tak terpecahkan.