by Adrian | Perdana TV
Kasus Nikita Mirzani dan Reza Gladys adalah potret buram dari zaman ketika batas antara “influencer” dan “pemeras” menjadi kabur, diwarnai uang miliaran dan ego yang tak kalah mahal. Di satu sisi, Nikita bersikukuh semua hanyalah urusan bisnis, endorsement yang sah; di sisi lain, Reza merasa diperas, diancam reputasinya akan dicabik-cabik jika tak menuruti. Semua berlangsung di ruang publik yang haus drama, menjadikan sidang hukum seperti panggung sinetron murahan—di mana air mata, amarah, dan “klarifikasi” lebih sering jadi tontonan ketimbang keadilan. Ironinya, masyarakat menonton sambil bertepuk tangan atau menghujat, lupa bahwa di balik segala sensasi, ada pertanyaan lebih besar yang tak terjawab: apakah hukum kita benar-benar mengerti dunia baru bernama “bisnis pengaruh”, atau sekadar ikut jadi pemain figuran dalam lakon yang semakin absurd ini?
Dan semakin jauh cerita ini bergulir, semakin terasa bagaimana uang dan popularitas menggerus makna keadilan itu sendiri. Apa bedanya Rp 4 miliar sebagai “honor endorse” atau “uang tutup mulut” jika semua diselesaikan lewat bisik-bisik, bukan kontrak resmi? Apa bedanya pengadilan dan panggung live TikTok jika keduanya sama-sama jadi arena saling serang, saling pamer luka, dan saling lempar citra? Pada akhirnya, kita dipaksa menatap realita pahit: hukum yang lambat belajar, selebritas yang tak pernah jera, dan publik yang terus menonton, seolah ini hanya hiburan—padahal di balik layar, sistem keadilan sedang diolok-olok oleh absurditas zaman.
Maka di titik ini, kita—para penonton yang juga pengguna media sosial—perlu bercermin: sampai kapan kita rela jadi bahan bakar drama, ikut menyulut api gosip, ikut memuja atau menghujat tanpa henti? Media sosial seharusnya jadi ruang berbagi gagasan dan karya, bukan arena penghakiman instan yang bisa menelan siapa saja, atau ladang uang yang membuat siapa pun merasa berhak mengintimidasi demi cuan. Sikap kita harus tegas: belajar memilah, menahan jempol sebelum mengetik, dan sadar bahwa di balik tiap unggahan ada nyawa, reputasi, dan kadang nasib seseorang. Karena jika kita terus bersorak di tribun, bukan tak mungkin suatu hari kita sendiri yang diseret ke tengah panggung.