Oleh Adrian | Perdana Indonesia
Sudah lebih dari delapan bulan program Makan Bergizi Gratis (MBG) berjalan. Sebuah program yang sejak awal digadang-gadang sebagai terobosan besar dalam meningkatkan kualitas gizi anak bangsa. Siapa pun akan mengakui, ide memberi makan sehat kepada jutaan siswa di sekolah adalah sebuah cita-cita luhur. Namun, di balik idealisme itu, kini muncul keresahan: mengapa kasus keracunan massal terus berulang di berbagai daerah?
Kita masih ingat, sejak Januari hingga September 2025, berita tentang ratusan bahkan ribuan siswa yang tumbang setelah menyantap makanan MBG terus menghiasi halaman media. Nunukan, Sukoharjo, Batang, Bogor, Garut, Banggai—daftarnya semakin panjang. Data menyebut, lebih dari 4.000 siswa menjadi korban. Bagi seorang anak, satu kali keracunan bisa menjadi trauma. Bagi orang tua, itu alarm keras. Dan bagi bangsa, itu pertanyaan serius: apa yang salah dengan implementasi program ini?
Sebagai jurnalis, saya telah menyaksikan banyak program mulia yang tergelincir karena pelaksanaan yang serampangan. Gagasan sebesar apa pun akan runtuh jika pondasinya rapuh. Program MBG tampaknya terjebak pada kegagapan yang sama.
Wakil Kepala Badan Gizi Nasional, Nanik S. Deyang, dengan tegas mengatakan akan membentuk tim investigasi keracunan berbasis keahlian kimia. Sebuah langkah yang tampak cepat dan teknis. Namun menurut saya lebih menyentuh akar persoalan bukan sebatas urusan kimia. Ini urusan semua. Mulai bikin SNI untuk semua SPPG yang berbasis GMP, SSOP, dan HACCP. Sekolahkan dulu pihak-pihak yang mau dilibatkan dalam urusan pangan siswa. Jangan asal-asalan. Ini bukan proyek cari duit buat para penguasa, tapi proyek untuk merubah SDM anak bangsa.
Urusan pangan bukan hanya soal laboratorium. Ia soal sistem, soal manajemen, soal tanggung jawab lintas sektor. Good Manufacturing Practice (GMP), Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP), dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) bukan jargon teknis. Ia adalah benteng yang memastikan makanan aman sebelum menyentuh mulut anak-anak kita. Tanpa ketiganya, apa pun yang kita sebut “bergizi” bisa berbalik menjadi racun.
Program MBG seharusnya bukan ladang proyek bagi penguasa atau kontraktor yang haus keuntungan. Ia adalah investasi jangka panjang untuk peradaban. Makanan bukan sekadar perut kenyang, tetapi fondasi bagi otak yang cerdas dan tubuh yang sehat. Bila kita gagal di sini, kita tidak hanya gagal memberi makan, tapi juga gagal menjaga masa depan generasi bangsa.
Kritik ini bukan untuk menjatuhkan penguasa, melainkan mengingatkan. Jalan masih panjang, program masih bisa diperbaiki. Tapi jangan tunggu hingga ada korban lebih banyak lagi. Jangan sampai anak-anak kita yang seharusnya tersenyum pulang sekolah justru harus digotong ke rumah sakit.
Sebagai bangsa, kita pernah belajar dari berbagai krisis pangan, dari kasus gizi buruk hingga polemik impor beras. Semestinya kali ini kita lebih siap. Jika MBG bisa dibenahi dengan standar yang benar, ia akan tercatat sebagai lompatan besar dalam sejarah pendidikan Indonesia. Tetapi jika dibiarkan berjalan tanpa arah, ia hanya akan dikenang sebagai program ambisius yang gagal karena lalai pada detail paling mendasar: keamanan makanan itu sendiri.
Pada akhirnya, program ini adalah cermin kita semua—pemerintah, sekolah, penyedia pangan atau SPPG, bahkan masyarakat. Apakah kita sungguh-sungguh menaruh masa depan anak-anak sebagai prioritas, ataukah kita sekadar menjadikan mereka korban dari kebijakan yang setengah hati, yang sejatinya hanya untuk mencari cara bagi bagi kue APBN semata?
Entahlah!