oleh Adrian | Perdana Indonesia
Bayangkan dua suara yang beradu dalam ruang podcast Denny Sumargo—Gusti Ayu Dewi dengan kekhawatirannya akan arah bangsa, dan Ferry Irwandi dengan semangatnya membela rakyat. Debat itu terasa seperti cermin retak: memantulkan luka, emosi, sekaligus harapan. Di balik gesekan panas seputar demo DPR, isu disinformasi, fitnah, dan kebencian—atau DFK—mengalir pelajaran yang layak direnungkan: kata-kata di media sosial bisa menjadi jembatan atau jurang.
Segalanya bermula dari narasi yang rapuh. Gusti Ayu membawa analisis forensik UI—rekaman TNI yang disorot ternyata bukan bukti kekerasan, melainkan suara tambahan dan lokasi yang biasa. Ferry menjawab dengan data Kontras—33 dari 44 orang yang sempat hilang ditemukan di tangan kepolisian tanpa kabar, sesuai kategori "dihilangkan" versi PBB. Dari sini, hikmah pertama lahir: fakta bukan lawan emosi, melainkan fondasinya. Tanpa cek, recek, dan silang data, narasi bisa liar, seperti kasus unggahan “kabur ke Singapura” yang ternyata tiket pulang-pergi, tetapi cukup untuk memicu penjarahan. Inilah erosi kepercayaan yang tak kasat mata namun sangat dalam.
DFK juga bukan sekadar isu jauh—ia ancaman nyata di sekitar kita. Ferry menaruh empati pada keluarga korban yang masih mencari orang tercinta, sementara Gusti Ayu mengingatkan, narasi yang salah ibarat bensin di tengah api. Deepfake pejabat hingga ancaman pribadi memperlihatkan betapa rentannya ruang digital. Namun hikmah yang tumbuh justru ini: narasi bisa diarahkan ke konstruksi. Daripada berkata "dihilangkan," lebih baik mengajak, "ayo bersama mencari saudara kita." Kata-kata bisa jadi doa—antara mendoakan luka atau mendoakan penyembuhan.
Yang paling menyentuh, empati selalu mengalahkan ego menang-kalah. Ferry geram melihat keluarga korban dibully, sementara Gusti Ayu sendiri merasakan getir ancaman. Namun akhirnya keduanya memilih jalan maaf. Ferry meluruskan bahwa Gusti Ayu tak bersenjata, Gusti Ayu mengakui salah dengar. Seperti kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang.” Dari sini, kita diingatkan kembali pada Pancasila: ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan sebagai sungai yang menyatukan. Bukan soal pro-pemerintah atau oposisi, melainkan pro-Indonesia.
Hikmah terakhir jatuh ke tangan kita semua. Dari influencer hingga warga biasa, satu unggahan bisa memicu badai, tapi juga bisa membawa hujan yang menyegarkan. Hindari potongan gambar yang menyesatkan, ingat ada konsekuensi hukum. Perkembangan terbaru menunjukkan beberapa orang hilang sudah kembali, meski masih ada yang belum ditemukan—tanda bahwa aksi kolektif masih diperlukan.
Pelajaran besarnya sederhana namun dalam: narasi kita bisa membakar rumah bernama Indonesia, atau membangunnya jadi tempat teduh bersama. Maka mari memilih yang kedua—memprioritaskan fakta, empati, dan persatuan. Karena bila DFK dibiarkan menang, maka kita semua yang akan tenggelam.