terkini

Ads Google

Sri Mulyani, Poros Dunia, dan Jalan Tengah Indonesia

Redaksi
9/09/25, 16:58 WIB Last Updated 2025-09-09T10:00:31Z


Oleh Adrian | Perdana Indonesia


Sri Mulyani lengser. Kalimat ini bergema di ruang publik Indonesia sejak Presiden Prabowo Subianto melakukan reshuffle kabinet awal September. Bagi sebagian orang, kepergian beliau adalah tanda tamatnya “era IMF–World Bank” di Indonesia. Bagi yang lain, ini sekadar rotasi politik biasa.


Namun, apakah pergantian seorang menteri bisa semudah itu dimaknai sebagai pergeseran poros dunia?


Dari Kelas IMF ke Jalan BRICS


Tak ada yang menyangkal reputasi Sri Mulyani. Di mata Barat, ia adalah “guardian of fiscal discipline” yang menjaga defisit tetap terkendali dan membuat investor percaya pada kredibilitas Indonesia. Itu pula yang membuat pasar finansial bereaksi negatif ketika kabar penggantian muncul: rupiah melemah, indeks saham rontok, dan para analis berbicara tentang risiko hilangnya disiplin fiskal.


Di sisi lain, dunia memang tengah bergeser. IMF dan Bank Dunia bukan lagi satu-satunya sumber otoritas. BRICS+ tampil percaya diri: Tiongkok, Rusia, India, Brasil, Afrika Selatan, dan kini mitra barunya, menawarkan pembiayaan tanpa syarat reformasi yang keras. Kredit lunak, infrastruktur cepat, dan retorika “kolaborasi tanpa kolonialisasi” terdengar lebih segar dibanding syarat panjang ala Washington.


Indonesia berada di tengah pusaran itu.


Data yang Berbicara: Ketergantungan Ganda


Mari letakkan romantika geopolitik sejenak. Angka perdagangan berbicara jelas: sekitar 22–23% ekspor-impor Indonesia terkait Tiongkok, sementara 9–11% terkait Amerika Serikat. Jepang, Korea Selatan, dan Uni Eropa pun tetap mitra strategis. Artinya, berpaling total ke satu blok sama saja dengan menutup pintu bagi setengah rumah tangga kita sendiri.


Di sisi investasi, tren FDI global menunjukkan perlambatan tajam sejak 2023. Modal kini makin selektif, persaingan makin keras. Jika Indonesia ingin menarik dana segar, syaratnya bukan sekadar memilih “Timur” atau “Barat”, melainkan siapa yang bisa memberikan nilai tambah nyata: transfer teknologi, lapangan kerja, dan kemandirian industri.


Risiko Dua Kutub


Meninggalkan IMF sepenuhnya berisiko: premi utang naik, kepercayaan investor melemah, dan ruang fiskal bisa menyempit karena biaya pinjaman membengkak.

Mengandalkan kredit bilateral dari Tiongkok saja juga berisiko: utang proyek bisa tersentral pada satu sumber, klausul kontrak bisa membatasi kedaulatan, dan pengalaman negara lain menunjukkan jebakan diplomasi utang bukan sekadar teori.


Indonesia harus membaca dua sisi koin ini.


Sejarah Mengingatkan Kita


Pada 1955, di Bandung, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika yang melahirkan Gerakan Non-Blok. Intinya sederhana: jangan biarkan diri kita jadi pion dalam perang dingin siapa pun. Jalan tengah, atau yang sering disebut “politik bebas aktif”, adalah akar sejarah bangsa ini.


Maka, jika hari ini ada yang bersorak bahwa kita akhirnya “meninggalkan Barat” dan sepenuhnya “berpaling ke Timur”, itu sesungguhnya mengingkari sejarah kita sendiri. Indonesia besar justru karena ia mampu berdiri di tengah—merangkul semua, menjaga jarak secukupnya, dan selalu menempatkan kepentingan nasional di atas segala blok.


Jalan Tengah: Dari Simbol ke Kebijakan


Pergantian Sri Mulyani adalah momentum. Tapi jangan sampai momentum itu dipenjara dalam retorika geopolitik. Lebih penting dari siapa menteri keuangannya adalah:


Bagaimana defisit dikelola agar tetap sehat tanpa membunuh pertumbuhan.


Bagaimana proyek infrastruktur dibiayai dengan transparansi penuh.


Bagaimana sumber dana—baik dari IMF, Bank Dunia, BRICS Bank, atau Tiongkok—dipilih berdasarkan biaya riil dan dampak jangka panjang, bukan semata ideologi.


Bagaimana rakyat merasakan bahwa setiap rupiah utang benar-benar kembali dalam bentuk pangan, energi, dan lapangan kerja.


Sri Mulyani mungkin pamit, tetapi disiplin fiskal tidak boleh ikut pergi. Purbaya Yudhi Sadewa mungkin membawa semangat baru, tetapi keberanian belanja negara harus tetap disertai kalkulasi yang matang.


Sejarah memberi kita pelajaran: Indonesia selalu lebih kuat ketika tidak menjadi satelit siapa pun, melainkan poros yang mampu menyeimbangkan banyak kekuatan.


Hari ini, kita tidak sedang memilih antara IMF atau BRICS. Kita sedang memilih apakah mau menjadi bangsa yang bijak menimbang, atau sekadar terbawa arus propaganda geopolitik.


Dan pada akhirnya, Indonesia yang berdiri di tengah-tengahlah yang akan paling didengar di dunia.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Sri Mulyani, Poros Dunia, dan Jalan Tengah Indonesia

Terkini

Topik Populer

Iklan

Close x