Oleh Adrian | Perdana Indonesia
Bayangkan, setelah bertahun-tahun berteriak di jalan, berdebat sengit di Twitter, menumpahkan seluruh tenaga untuk mengkritik pemerintah, akhirnya kamu berhasil juga: duduk di kursi empuk DPR. Perjalanan panjang penuh idealisme itu kamu bawa dengan satu tekad sederhana namun mulia—“Saya akan ajukan undang-undang yang melindungi rakyat.”
Dalam kepala, daftar mimpi sudah siap. RUU Rampas Aset Koruptor, RUU Reforma Agraria, RUU Perlindungan Buruh, RUU Pembatasan Gaji Pejabat. Semuanya kau susun dengan keyakinan bahwa perjuangan rakyat yang dulu menggema di jalanan kini bisa benar-benar diwujudkan lewat pena dan palu sidang. Namun kenyataan segera menampar.
Langkah pertamamu dihentikan oleh tembok tak kasatmata bernama fraksi. Ternyata kau bukan wakil rakyat, melainkan wakil partai. Kursi itu milik partai, bukan milikmu. Setiap gagasan harus terlebih dahulu melewati restu fraksi. Jika partai menolak, maka cita-cita itu mati bahkan sebelum lahir. Dan jika kau nekad melawan arus, ancamannya sederhana: PAW, pergantian antar waktu. Kamu bisa diganti secepat jentikan jari. Di tahap ini saja, sebagian besar idealismemu sudah terkubur.
Kalau pun fraksi berbaik hati mengizinkan, jalanmu belum selesai. Usulanmu harus dibawa ke Baleg—Badan Legislasi DPR. Di ruang inilah ratusan rancangan undang-undang dari DPR, DPD, bahkan Presiden dikumpulkan, diperas, lalu ditimbang. Sayangnya, penilaian bukan soal seberapa penting RUU itu bagi rakyat, seberapa genting situasinya, atau seberapa besar dukungan publik. Pertanyaan yang muncul justru: apakah sesuai prioritas fraksi, apakah selaras dengan program partai, apakah berpotensi menimbulkan konflik politik? Jika dianggap tak penting, maka usulanmu tamat riwayatnya.
Kalaupun berhasil meyakinkan Baleg, kau masih harus berjuang agar rancangan itu masuk Prolegnas, Program Legislasi Nasional. Hanya RUU yang masuk daftar itulah yang berhak dibahas DPR. Jika gagal, maka seluruh kerja kerasmu tak lebih dari file PDF yang tersimpan sunyi di Google Drive.
Namun andai berhasil menembus Prolegnas, ujian lebih pelik menanti. Pembahasan di komisi dan panitia kerja bukanlah arena adu gagasan idealis, melainkan ruang penuh lobi, tarik-ulur kepentingan, revisi kata demi kata. Di sana hadir kementerian terkait, para ahli pilihan, juga sponsor yang bermain di belakang layar. Pasal bisa gugur hanya karena mengusik kepentingan bisnis, sementara pasal lain bisa tiba-tiba muncul karena desakan investor. Sering kali pembahasan berlarut-larut bertahun-tahun, kadang dibekukan begitu saja, atau bahkan dihapus tanpa penjelasan.
Ajaibnya bila semua itu terlewati, tibalah saatmu berdiri gagah di sidang paripurna. Kau membacakan pidato panjang, penuh data hukum, sarat etika, pro rakyat, berapi-api seakan seorang pahlawan. Namun yang kau hadapi adalah ruang penuh kursi kosong, anggota DPR yang sibuk menunduk menatap layar ponsel, sebagian asyik mengobrol, bahkan ada yang terlelap. Mereka sudah menggenggam keputusan jauh sebelum pidatomu dimulai, karena setiap fraksi sudah membawa sikap final. Sering kali mikrofonmu dipotong di tengah jalan. Dan akhirnya, voting dilakukan. Dalam hitungan detik, RUU yang kau perjuangkan dengan segenap jiwa ditolak mentah-mentah. Bukan karena isinya buruk, melainkan karena kau tak cukup kuat dalam hitungan politik.
Yang lebih menyakitkan, rakyat yang kau bela pun sebenarnya tak pernah benar-benar dilibatkan. Mereka tidak tahu apa yang dibahas, tak punya akses ke dokumen resmi, tak bisa interupsi, tak bisa voting, tak bisa veto. Sidang yang terbuka pun diselimuti bahasa hukum yang tak ramah. Lalu ketika rakyat ribut di luar, pemerintah dengan enteng melabeli: “Mereka emosional, tidak paham hukum.”
Dan seandainya seluruh proses itu berhasil ditembus, satu halangan terakhir masih menunggu: Presiden. Ia bisa saja tak menandatangani RUU itu. Memang, secara hukum RUU tetap sah setelah 30 hari, tapi tanpa peraturan turunan, tanpa anggaran, tanpa pengawasan, undang-undang itu hanya akan menjadi kertas tanpa nyawa.
Maka jelaslah, sistem ini dirancang agar rakyat tak pernah benar-benar menang. RUU pro-rakyat bisa tersandung di ribuan titik, bisa menunggu sepuluh tahun hanya untuk dibahas, bisa mati hanya karena tidak disetujui fraksi. Sementara RUU pesanan pengusaha? Pagi masuk, sore dibahas, malam diketok, dini hari disahkan.
Itulah wajah demokrasi: sebuah panggung ilusi di mana rakyat diyakinkan seolah mereka terlibat, padahal keputusan sudah lama dibajak. Suara ribuan orang direduksi menjadi satu suara anggota DPR yang bahkan tak berdaya di hadapan partainya sendiri. Tidak heran jika aturan yang lahir sering kali tidak mewakili rakyat. Siapa yang benar-benar setuju RUU TNI? Siapa yang sungguh-sungguh rela harga BBM naik?
Kalau undang-undang untuk merampas aset koruptor saja ditolak, apalagi aturan yang menyentuh nilai moral dan agama. Maka jangan heran bila banyak orang mulai meragukan demokrasi. Bukan hanya kelompok Islam yang kecewa, tapi juga para filsuf besar sejak Plato dan Aristoteles sudah lama mengingatkan bahwa demokrasi sering kali berujung pada tirani mayoritas dan permainan elite.
Setelah tahu semua ini, barangkali masuk akal jika ada yang mulai bertanya: apakah benar demokrasi adalah jalan terbaik, atau sekadar topeng indah yang menyembunyikan kenyataan pahit?