Oleh : Musa | Direktur Kabaran Institute
Penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid oleh KPK tidak hanya membuka bab penting dalam penegakan hukum, tetapi juga memantik reaksi publik yang meluas—termasuk polemik antara penulis Tere Liye dan Bupati Siak Afni Zulkifli. Perdebatan ini merefleksikan isu yang lebih besar: bagaimana masyarakat Riau ingin dilihat, dan bagaimana mereka merespons krisis kepemimpinan yang kembali berulang.
Dalam unggahannya, Tere Liye menyoroti bahwa Riau kembali dipimpin sosok yang terjerat kasus korupsi dan menyinggung masyarakat sebagai “rakyat-rakyat to***”. Ucapan itu memicu gelombang protes, bukan hanya dari warga, tetapi juga dari Bupati Siak. Kritik keras tersebut dianggap menyasar terlalu jauh, seolah kesalahan pejabat publik adalah kesalahan kolektif masyarakatnya.
Bupati Afni menegaskan bahwa masyarakat Riau sedang berada di titik kritis dan berhak mendapatkan ruang untuk berduka. Ia menyampaikan bahwa Riau telah banyak berkontribusi bagi negeri—dari minyak bumi hingga perkebunan—namun hasilnya belum sebanding dengan beban sosial yang ditanggung. Pernyataan ini mendapat dukungan dari Kabaran Institute, yang melihat bahwa kritik semestinya mendorong perubahan, bukan melukai harga diri publik.
Penulis memandang momen ini sebagai kesempatan untuk memperkuat tata kelola dan mendorong budaya dialog yang sehat. Penegakan hukum harus berjalan transparan, sementara komunikasi publik perlu merawat empati agar kritik tidak berubah menjadi stigma. Reformasi birokrasi di Riau membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, lembaga independen, dan masyarakat sipil.
Polemik dengan Tere Liye di satu sisi menegaskan pentingnya suara intelektual dalam mengingatkan publik. Namun gaya penyampaian yang dianggap merendahkan membuka diskusi penting: apakah kritik pedas efektif, atau justru kontraproduktif di tengah krisis kepercayaan?
Di sisi lain, pernyataan Bupati Afni menunjukkan bahwa pejabat daerah ingin masyarakat diperlakukan dengan hormat, meskipun pejabat mereka gagal menjaga integritas. Ini adalah pesan bahwa publik Riau bukan massa pasif, tetapi bagian dari proses perbaikan sistem pemerintahan.
Dalam konteks ini, penulis menegaskan bahwa penangkapan Gubernur Riau harus menjadi titik balik. Reformasi sistemik perlu dijalankan, termasuk penguatan audit internal, transparansi anggaran proyek daerah, serta mekanisme pengawasan publik yang lebih terbuka.
Polemik ini seharusnya tidak memecah, melainkan menyatukan. Masyarakat Riau membutuhkan kritik yang jujur, tetapi juga penghargaan atas identitas dan kontribusi mereka. Penegakan hukum tetap berjalan, reformasi harus dipercepat, dan dialog publik mesti dijaga dengan sehat.
Pada akhirnya, momentum ini dapat menjadi kesempatan bagi Riau untuk bangkit—bukan hanya dari kasus korupsi, tetapi juga dari stigma yang tidak adil. Dengan kolaborasi antara pemerintah daerah dan lembaga independen seperti Kabaran Institute, perubahan bukan mustahil, melainkan sesuatu yang sedang diusahakan bersama.
%20(1)-min.png)

%20(1)-min.png)
