Benarkah Purbaya Akan Direshuffle Prabowo? Ini Analisanya

Oleh Adrian | Perdana Indonesia 

Ketika seorang menteri menjaga uang negara, justru ia bisa kehilangan kursinya. Ironi, tapi itulah panggung kekuasaan di negeri ini.

Purbaya Yudhi Sadewa baru saja menolak tegas ide penggunaan APBN untuk menalangi utang triliunan rupiah proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung. Keputusan itu memang rasional secara fiskal, tapi di politik, langkah rasional kadang terdengar seperti alarm bahaya.

Sejak saat itu, dinamika di balik layar berubah cepat. Aroma tekanan politik mulai terasa, dan rumor reshuffle pun berembus kencang di sekitar istana.

Menurut analis intelijen dan geopolitik Amir Hamzah, langkah Purbaya telah membangunkan “sarang lebah” kepentingan lama. Ia dianggap “anak baru” tanpa dukungan partai, tapi terlalu berani menolak status quo.

Operasi tekanan, kata Amir, kini berjalan sistematis:

1. Politisasi Media. Framing negatif muncul — Purbaya dicitrakan kaku, lamban, tak komunikatif.

2. Tekanan Legislatif. Komisi XI mulai aktif “memanggil”, menciptakan tekanan formal.

3. Isolasi Politik. Dukungan antarmenteri melemah, seolah menunggu lampu hijau reshuffle.

Benturan paling keras, katanya, terjadi dengan kelompok pro-Luhut Binsar Pandjaitan, yang selama ini mengelola proyek infrastruktur besar. Purbaya menolak mekanisme pembiayaan lama, dan di situlah konflik kepentingan menyalak.

Secara ekonomi, ia benar. Tapi di meja politik, kebenaran teknis sering kalah oleh kekuasaan.

Purbaya kini berdiri di persimpangan: tetap menjaga integritas fiskal, atau mencari perlindungan politik agar selamat dari badai.

Kalau benar reshuffle terjadi awal 2026 seperti prediksi Amir, maka kasus ini bukan sekadar drama kabinet — melainkan pelajaran getir tentang bagaimana kebenaran ekonomi bisa tumbang di hadapan politik yang lapar kendali.

Dan lagi lagi rakyat yang akan dirugikan, karena hilang harapan dari pejabat yang jujur dan pro kepada mereka.