Oleh Adrian | Perdana Indonesia.
Tak ada yang lebih menyedihkan dari sebuah bencana yang datang bukan karena alam sepenuhnya, tapi karena kelalaian manusia yang diperingatkan sejak lama. Ketika banjir bandang melumat Sumatera hari ini, gema paling lantang justru datang dari sebuah ruang rapat Komisi IV DPR RI tahun 2021—suara Kang Dedi Mulyadi yang saat itu “meledak” kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Banyak yang menganggap kemarahan KDM saat itu berlebihan. Padahal, yang ia lihat bukan sekadar data. Ia melihat lubang-lubang galian liar, sungai yang dangkal, gunungan sedimen, dan hutan yang berubah menjadi izin perkebunan, tambang, hingga kawasan gundul. Ia melihat langsung tanah yang dikeruk berton-ton, diangkut dengan izin abu-abu, dan dikawal preman. Ia melihat Perhutani ketakutan. Ia melihat jajaran birokrasi yang terlalu akademis menjelaskan bencana, tapi terlalu lemah untuk mencegahnya.
Dan kini, ketika Sumatera didera banjir besar—desa tersapu hanyut, jembatan runtuh, lahan terendam, dan ribuan warga mengungsi—kata-kata KDM terasa seperti nubuatan. Penyebabnya persis yang ia bentak di ruang rapat: sedimentasi meningkat, tangkapan air hilang, daerah aliran sungai rusak, dan hutan menyusut tanpa kendali. Bencana yang sama. Pola yang sama. Kelalaian yang sama.
KDM sudah mengingatkan kala itu: sungai tidak berubah panjangnya, tapi berubah kedalaman dan lebarnya. Sedimentasi bertumpuk karena hutan ditebang. Curah hujan bukan masalah utama; masalahnya adalah kita tak lagi punya hutan untuk menahannya.
Ia bukan bicara teori—ia bicara realitas yang ia lihat dengan tangannya sendiri. Dari menutup galian ilegal tengah malam, menegur pedagang yang menutup drainase, sampai menghentikan truk pasir yang membebani jembatan yang hampir ambrol. Baginya, tata kelola lingkungan sudah begitu rusak hingga negara seperti membiarkan alam bekerja sendirian, tanpa perlindungan.
Dan bukankah Sumatera hari ini adalah bukti paling nyata? Bahwa peringatan itu diabaikan. Bahwa KLHK lebih sering tampil sebagai komentator bencana daripada penjaga hutan. Bahwa birokrasi lebih sibuk menghitung daripada bertindak. Bahwa tata ruang lebih tunduk pada kepentingan izin daripada keselamatan rakyat.
Kemarahan KDM waktu itu bukan sekadar emosi. Itu adalah bahasa dari seorang yang melihat kerusakan sebelum kerusakan itu menjadi berita. Ia meminta kejujuran: akui kawasan hutan berkurang, akui izinnya bermasalah, akui tatakelola salah, akui tanah sudah tak mampu menahan air. “Jangan akademis,” katanya. “Jujur saja.”
Karena bencana tidak butuh teori. Ia hanya butuh ruang untuk terjadi. Dan kita—melalui kebijakan yang lemah—memberinya ruang itu.
Sumatera kini menanggung akibatnya. Dan suara KDM dari tahun 2021 itu kembali memecah udara: “Lingkungan itu fisika, kimia, matematika, biologi. Tak bisa dikalahkan oleh kepentingan politik.”
Semoga kali ini, peringatan itu tidak kembali disia-siakan.
#BanjirSumatera #KDM #LingkunganHidup #KrisisHutan #PerdanaIndonesia
%20(1)-min.png)

%20(1)-min.png)
