terkini

Ads Google

Sebait Nama dalam Tiga Rangkai

Redaksi
10/05/21, 22:18 WIB Last Updated 2021-10-05T15:18:37Z
Oleh : Mahadir Mohammed

Hari itu adalah hari Minggu. Aku dan dua kawanku dengan asyiknya memancing di ujung pelabuhan, tiba-tiba di tengah suasana memancing hujan menyelimuti perkampungan. Di pondok pelabuhan kami terkepung jutaan tetesan air yang berjatuhan dari langit dengan begitu dahsyat dan lebat.

Kami bertiga dengan pandangan sayup, saling mendongak ke atas langit. Menatap butiran hujan yang jatuh dengan riak-riak keriangan. Membasahi pondok tua tempat kami bernaungan. 

Pulau Seberang, itulah nama kampung kami. Walaupun sungai telah membelah kampung ini menjadi potongan-potongan dusun kecil, namun tidak ada kata 'menyerah' dalam kamus kehidupan kami. Tekad kami selalu seperti air hujan; segar dan menyuburkan. 

Oh, iya. Perkenalkan namaku Ali Akbar. Di sekolah aku dipanggil "Ali". Jarang sih yang memanggilku "Akbar", kecuali Bapakku. Katanya biar aku menjadi laki-laki yang memiliki daya tahan yang besar. Bapak berharap suatu saat nanti aku menjadi pemimpin yang memiliki pola pikir yang besar dan dijauhkan dari sikap-sikap yang dangkal.

Tapi semua teman-temanku memanggilku "Ali". Apapun itu aku senang ke dua suku kata namaku digunakan. Biar enggak mubazir. Hehe.

***

Dalam suasana hujan, diselimuti hawa dingin karena hembusan angin dari lautan. Sahabatku Yayan tiba-tiba melontarkan pertanyaan.


"Hid, kapan ya kita keluar dari pulau ini? Berselancar di kota-kota besar seperti di TV-TV itu." Tanya Yayan dengan tangkas, "bosan aku di kampung terus."

"Husss! Jangan kau hidangkan rasa bosamu dihadapanku, Yan!" Bantah Ojik, "siapa lagi yang akan menjaga kampung kita? Kalau bukan kita sendiri?Apa kau mengharapkan Pak Bupati terpilih itu menjaga kampung kita?" Timpal beliau sambil menatap serius ke air hujan.

"Bukan begitu, Jik. Maksudku masa kita di sini terus. Apa kau tak berkeinginan untuk memperluas wawasanmu di luar sana?" Jawab Yayan penuh harap.

"Betul ya, hujan bukan hanya menyuburkan tanaman, tapi juga menyuburkan harapan." Selaku di tengah-tengah obrolan.

Pleeek! Tangan Ojik mendarat di punggungku, "Apa sih Bro! Enggak nyambung sama pembahasan." Ucap Ojik dengan ketus.

"Hehehe," cengirku, menatap Ojik. "Kalian ribut apa sih? Dari tadi ngoceh melulu? Nikmati tuh air hujan." Tegasku.

***

Tak terasa, kami bertiga terbenam dalam cerita, asyik bercanda, duduk di kursi kayu panjang di dalam pondok tua. Hujan sudah berhenti. Aku, Yayan dan Ojik masih setiap menikmati sore yang hampir hilang ditelan malam. Pondok tua tempat kami bernaungan menjadi saksi, betapa bengisnya hujan hari ini. Waktu begitu cepat berlalu, tapi tak membuat kami membisu.

"Jik, kau malam ini apa rencana?" Tanyaku sama Ojik.

"Aku mau ke rumah Pak Lurah, sama Bapakku," balasnya. "Sekalian lihat Zahra anaknya Pak Lurah. Hehe."

Sekedar informasi, Bapak Ojik memang sudah lama menjabat sebagai kepala Dukuh di kampungku. Kata orang-orang Bapak Ojik terkenal dengan keramahan dan sikapnya yang mudah membaur dengan masyarakat. Itulah yang membuat dia tenar dan cukup terkenal. Tak ada janda yang tak tahu jika sudah menyebut nama bapak Ojik. Kasman itulah namanya. Biasanya kami memanggilnya Wak Kas.

"Ah, curang kamu, Jik. Main serobotan aja. Aku bisa ikut ngak?" 

"Nantilah kutanya sama Bapakku," Jawab Ojik dengan ragu. " Soalnya ini urusan orang tua, jadi enggak enak kalau ada banyak anak-anak sebagai tamu."

"Enggak enak banyak anak-anak? Atau, kau takut kami mendapatkan hati si Zahra, Jik?" Potong Yayan dengan lugu.

"Jodoh, rezeki dan Zahra, sudah ditakdirkan Tuhan kepada siapa ia akan berlabuh, Yan. Kita laki-laki pantang merasa takut dengan persaingan. Kita disebut laki-laki karena mampu untuk bersaing. Dan Zahra sudah pasti pelabuhan terakhirku, karena dia pernah senyum kepadaku waktu itu." 


"Omaaak!" Teriakku, "kau pelet dia dengan jimat apa, Jik?" 

"Hahaha, jangan kebakaran jenggot ya kalian. Kata Bapakku, si Zahra itu memang cocok denganku."

"Alaaah, Bapakmu salah pandang itu, Jik." Kata Yayan, "seharusnya kau cocok dengan janda kampung sebelah kenalan Bapakmu."

"Hahaha" Aku dan Yayan gelak tertawa.

"Aseeem kau, Yan!" Celetup Ojik dengan sedikit nada dongkol.

"Ah, sudahlah. Ayoklah pulang," Ajakku, "Hari sudah mulai gelap."

"Ogheyyy, mana sepedamu, Yan?" Tanyak Ojik.

"Ada di ujung sana." Sembari Yayan menunjukkan telunjuknya ke arah depan Pelabuhan.

Cuaca terasa syahdu, hembusan angin laut setelah hujan membuat suasana semakin sendu. Akhirnya kami bertiga berjalan kaki menelusuri jembatan keluar dari Pelabuhan. Kami bergegas pulang menggunakan sepeda tua. Aku dan Ojik boncengan, sedangkan Yayan sendiri.

Di tengah perjalanan, kusambung lagi satu pertanyaan.

"Jik, malam ini jam berapa kita ke rumah Pak Lurah?" Tanyaku sama Ojik.

"Kata Bapakku kemarin sehabis isya'," Jawab Ojik sembari mengayuh sepeda. "Tapi tunggu dulu, biar aku kasi tahu Bapakku kalau kalian ingin ikut."

"Jik, kali ini kami tidak akan menunggu keputusan musyawarah Bapakmu. Intinya kami nanti akan datang." Tegasku, "Yan, siap-siap nanti malam sehabis isya', kau jemput aku. Ikut kita sama Ojik."

"Ya, Udah. Nanti kalian datang aja."  Balas Ojik.

"Aseeek! Selepas mengaji aku langsung ke rumahmu, Li. Tapi nanti kau cepat, yaaa!" Balas yayan. "Kebiasaanmu kalau dandan suka lama."

"Aman, Bro!" Jawabku dengan sigap. Sembari menikmati suasana perjalanan yang mulai gelap.

***

Rumah kami bertiga memang tidak jauh dari pelabuhan, jaraknya sekitar empat kali panjang lapangan bola. 
Lurus saja dari arah Pelabuhan, lalu ketemu simpang tiga pertama, kemudian masuk sebelah kiri, itulah jalan ke rumah kami.

Rumah pertama adalah rumah Ojik, sekitar 300 meter baru ketemu rumah Yayan, setelah 100 meter dari rumah Yayan, ketemu gang ke dua, masuk lurus saja, ketemu rumah cat berwarna biru tua. Itulah rumahku. 

Di akhir perjalanan kami, seperti biasanya, Yayan selalu mendendangkan lagu-lagu dangdut kesukaan Emaknya. Plus dengan siulan bak seluling Bang Haji Rhoma Irama.

Bang toyib
Bang toyib
Kenapa tak pulang pulang
anakmu anakmu
panggil panggil namamu
Bang toyib
Bang toyib
Kenapa tak pulang pulang
anakmu anakmu
panggil panggil namamu

Suuuu uuuuu.
Suuuu uuuuuu.


Setelah mendengarkan alunan lagu Bang Toyib, tak terasa kami pun hampir tiba di hadapan rumah Ojik. Lalu aku pun turun untuk bertukar bonceng ke sepeda tua, Yayan. Yang tidak ada tempat bonceng, hanya mengandalkan besi panjang di samping priwil belakang sepeda. Aku pun berpamitan. "Jik, kami duluan, Ya!" 

"Okelah. Kalau jadi ikut nanti malam, cepat kalian datang. Aku paling membenci menghabiskan waktuku hanya untuk menunggu."

"Siaaaap, Bos!" Jawab Yayan dengan semangat. Sembari memberi hormat kepada anak Pak Kasman itu.

Lalu aku dan Yayan pun pulang, dengan penuh kegirangan, tak sabar untuk menunggu isya' datang.

***

Malam pun tiba, ibadah isya' telah selesai aku tunaikan. Suara jangkrik pun redup-redup mulai menyapa. Suara gitar para preman di kampungku yang sedang nongkrong di pinggir jalan, menyampu kesunyian malam dengan suka ria. Entah lagu apa saja dimainkannya.

Tampak dari kejauhan, ada kilauan cahaya kecil, yang pastinya itu senter korek api dan tiba suara sayup menghampiri.

"Assalamualaikum!"

"Wa'alaikumslm!" Balasku.

Ternyata itu Yayan yang datang menjemputku. Aku pun telah siap di teras depan rumah sekitar 20 menit yang lalu. Seperti biasanya, sebelum berangkat tak lupa aku berpamitan dengan Emakku. Sang Ibunda ratu pemilik centong rindu.

"Maaak! Aku pergi ke rumah Ojik dulu, yaaa!"

"Yaaa! Hati-hati, jangan balik larut malam. Jangan laju-laju naik sepeda." Ucap Mamakku sayup-sayup redup dari dalam rumah. Kami pun langsung tancap gas pergi ke rumah Ojik.

Setiba di depan rumah Ojik, Yayan pun langsung melemparkan suara. 

"Ooojiiik!"

"Oojiiiiiiik!"

Tiba-tiba pintu rumahnya dibuka dan ternyata yang keluar Bapaknya. Dengan menggunakan baju batik coklat, celana kain menutupi mata kaki, ditambah kopiah hitam. Bapak Ojik terlihat seperti seorang pemuda pada zamannya. Batu akik hijau yang menempel di jari manisnya, sempat menyilau mata.

"Mau kemana kalian, Lii?" Tanya Bapak Ojik dengan lantang kepadaku.

Dengan sikap saling pandang, sepontan aku menjawab, " Anuu Pak, Ojik ngajak kita keluar malam ini."


"Oh, kalian mau ikut saya ke rumah Pak lurah?" Tanya beliau lagi, " kalau begitu ayook kita tancaaap." Ungkap Bapak Ojik.

Kemudian Ojik pun keluar dari pintu rumahnya. Dengan peci hitam agak ke kekunigan, celana hitam sedikit lusuh. Plus baju bola Real Madrid warna putih kesayangannya.

"Ayook, Pak." Sambung ia dengan sigap. 

"Ternyata kau yang paling lama ya, Jik." Sindir Yayan. 

"Ah, aku udah dari tadi siap." Tepisnya," eh, tapi bagaimana penampilanku. Sudah keren, kan?"

Aku dan Yayan agak kebingungan sembari terdiam. Dari mana datangnya keren, lha di mana-mana baju bola enggak cocok pakai peci. Seandainya pelatih Real Madrid tahu, pasti dia menangis melihat ini.

"Yaa pasti kereeenlah. Anaknya Bapak." Puji Bapaknya sambil memasang sendal jepit.

"Waaah, Zahra pasti terpesona melihatku Pak, ya?"

"Yooo, pastiii!" Jawab Bapaknya lagi.

"Hadeeeh. Anak dan Bapak sama saja," ucapku dalam hati.

"Ayoooklah, Jik. Berangkat kita, nanti takut keburuan Pak lurah kelayapan ke rumah tetangga. Kan Pak lurah orangnya sibuk." Ucap Yayan di tengah pembicaraan yang tampak tak sabaran.

Akhirnya kami berempat pun berangkat ke rumah Pak Lurah dengan mangayuh sepeda. Yang jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah Ojik.

_-Bersambung_
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Sebait Nama dalam Tiga Rangkai

Terkini

Topik Populer

Iklan

Close x