terkini

Ads Google

HAMBA AR-RAHMAN

Redaksi
1/27/22, 16:47 WIB Last Updated 2022-01-27T09:47:56Z

 


Hasanuddin Yusuf Adan

(Dosen Siyasah pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry)

diadanna@yahoo.com



MUQADDIMAH

Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik (salama). (Al-Furqan [25] ayat 63).


Ummat manusia semuanya pada satu sisi bergelar dengan makhluk Allah sama posisinya dengan makhluk-makhluk Allah lainnya baik dari kalangan hayawan, tumbuh-tumbuhan, maupun kandungan alam lainnya. Pada dataran ini tidak ada perbedaan hakikat antara manusia dengan makhluk ciptaan Allah lainnya karena semuanya sama-sama hasil ciptaan Allah. Namun manakala kepada manusia Allah berikan, aqidah, syari’ah dan akhlak, lalu mereka berpegang kuat serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, barulah di sana terjadi perbedaan antara manusia dengan makhluk Allah lainnya.


Walaubagaimanapun, ketika manusia mengabaikan ketiga unsur tersebut yang membuat mereka hidup dan prilaku kehidupan tidak berbeda dengan hayawan maka di sana pula kedudukan manusia tidak dapat dibedakan dengan hayawan, jin, iblis dan syaitan. Persoalannya adalah manusia itu ril menjadi manusia dalam bentuk fisik berpenampilan beda dengan hayawan karena Allah ciptakan fisik manusia berbeda dengan fisik hayawan dan makhluk lainnya. Di sisi lain manusia diberikan atribut khusus yang tidak diberikan kepada hayawan, yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak. Makanya ketika manusia mengikat diri dan mengaplikasikan ketiga unsur tersebut dalam kehidupannya mereka ril sebagai manusia yang normal. 


Manakala manusia menyisihkan dan tidak mengikat diri dengan tiga unsur tersebut maka jadilah mereka sebagai makhluk Allah yang bertubuh manusia dan berperangai non manusia. Pada dataran inilah sering dilabelkan sebahagian manusia sebagai binatang, jin, iblis atau syaitan dikarenakan manusia telah meninggalkan kriteria kemanusiaannya dengan mengambil atribut hayawan sehingga mereka keluar dari label Hamab Allah atawa ‘ibad Ar-Rahman.


MAKNA HAMBA AR-RAHMAN

Al-Qur’an sudah memberikan gambaran watak muslihat yang sopan lagi santun seseorang yang tersebut di sana dengan nama ‘Ibadur-Rahman. Sementara Ar-Rahman sendiri merupakan nama lain kepada Allah SWT.yang terkafer dalam Al-Asma-ul Husna (99 nama indah bagi Allah SWT).dengan demikian dapat diartikan juga bahwa istilah “’ibadur-rahman” bermakna “’abdullah” yang sering disebut Hamba Allah. Bedanya kalau “’ibadurrahman itu dalam bentuk jamak dan ‘Abdullah dalam bentuk mufrad. Kalau mau kita teliti lebih serius dan mendalam pada hakikatnya antara ‘Ibadur-Rahman dengan ‘Abdullah memiliki makna yang serupa Cuma berbeda kateginya saja, yaitu yang satu dalam bentuk singgel dan yang lainnya dalam bentuk plural.


Berasaskan kepada kata asal (‘abdun) yang jamaknya ‘ibad maka dalam beberapa kamus diartikan sebagai hamba, hamba sahaya, tukang emas dan semacamnya. Manakala kata-kata tersebut disandarkan kepada nama Allah menjadi ‘Abdullah yang bermakna hamba Allah, ketika disandarkan kepada kata Ar-Rahim menjadi ‘Abdur-Rahim yang mengandung arti hamba dari yang maha pengasih lagi maha penyayang, ketika disandarkan kepada kata Ar-Razzaq jadilah ia ‘Abdur-Razzaq yang mengandung makna Hamba yang maha Memberi Rizki, demikian juga ketika disematkan kepada kata Ar-Rahman jadilah ia ‘Abdurrahman dalam bentuk mufrad (singgel) dan ‘ibadur-Rahman dalam bentuk jamak (plural), yang artinya Hamba atau Hamba-hamba Ar-Rahman.


Lalu bagaimana posisi kata ‘abdun itu kalau dipasang pada nama-nama selain nama Allah seperti disandarkan kepada nama Ibrahim sehingga menjadi ‘Abdul Ibrahim, disandarkan kepada nama Hasan umpamanya sehingga menjadi ‘abdul hasan, ‘abdul uzza dan semisalnya. Berlandaskan kepada keyakinan tauhid dalam bingkai aqidah Islamiyah bahwa memberikan nama orang yang disandarkan nama abdun kepada selain nama Allah dan Asmaul-Husna sepakat para ulama hukumnya haram dan tidak boleh dilakukan demikian karena itu menjurus kepada amalan syirik yang dahulukala telah diamalkan oleh orang-orang kafir Makkah seperti nama abdul ‘uzza (hamba berhala) dan sejenisnya. Sebaliknya tidak boleh juga seseorang memberi nama anaknya dengan nama Allah atau nama-nama dalam Al-Asma ul Husna, seperti Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Lathif, Al-Qawi dan seterusnya karena itu nama-nama Allah.


HAKIKAT DAN EKSISTENSI HAMBA AR-RAHMAN

 Ketika kita kembali kepada kandungan surah Al-Furqan ayat 63; Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik (salama). Terdapat beberapa poin yang perlu kita catat dalam ayat tersebut, di antaranya adalah: Hamba Ar-Rahman itu adalah orang-orang yang sopan dan rendah hati, orang-orang tersebut ketika dicemooh, dicerca dan dimaki oleh orang lain tidak pernah membalas cacian dan cemoohan tersebut melainkan berucap dengan kata selamat yang mengandung do’a.


Statemen Allah: allazina yamsyuna alal ardhi hauna, yang menyatakan ciri khas Hamba Ar-Rahman diperkuat oleh pernyataan Allah lainnya dalam surah Al-Israk ayat 37 (wa la tamsyi fil ardhi maraha) yang bermakna: janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan angkuh dan sombong, dijelaskan lagi oleh ayat Allah yang lain (An-Nisak [4];36) kenapa hamba Allah tidak boleh sombong dalam kehidupan dunia ini, Allah menyatakan: innallaha la yuhibbu man kana mukhtalam fakhura (Allah benci kepada orang-orang yang bersifat angkuh, arrogan, sobong dan membangga-banggakan diri) karena sifat itu merupakan sifat Allah (Al-Mutakabbir) yang haram dimiliki oleh manusia.


Pengertian hauna di sini diartikan para ulama sebagai lemah lembut, sopan santun, muslihat, tidak sombong, tidak kasar, tidak arrogan dan semisalnya sehingga disematkan kepada prilaku dan kepribadian Rasulullah SAW yang melekat kata hauna pada dirinya. Karenanya Hamba Ar-Rahman itu mestilah berprilaku sebagaimana prilakunya Rasulullah SAW yang penuh kemuslihatan, penuh kesabaran, penuh kebijakan, penuh kesabaran dan penuh keikhlasan. Namun demikian Islam tidak membolehkan juga memperolok-olok semua sifat Rasulullah SAW tersebut dilakoni secara berlebihan oleh seseorang yang sesungguhnya tidak ada sifat-sifat tersebut pada dirinya. Namun ketika dia berjumpa dengan orang-orang tertentu berjalan dengan membungkuk-bungkukkan diri menampakkan sifat hauna pada dirinya, yang semisal ini puran-pura namanya.


Pada zama Amirul Mukminin Umar bin Khaththab, beliau pernah berjumpa dengan seorang pemuda yang berjalan di hadapannya dengan sengaja membungkuk-bungkukkan diri meniru sifat hauna yang diada-adakan. Lalu Umar bertanya kepadanya: wahai pemuda kenapa kamu berjalan terbungkuk-bungkuk seperti jalannya orang tua bangka. Pemuda itu menjawab: saya meniru sifat hauna wahai amirul mukminin, Umar bertanya lagi: kemarin dulu ada kamu berjalan seperti ini? Dia menjawab: tidak wahai Amirul Mukminin, lalu Umar mengambil cambuk menyebatnya/mencambuknya seraya mengingatkannya jangan buat-buat seperti itu lagi karena itu prihal imitasi yang diada-adakan bukan murni sifat hauna seseorang insan.


Terkait dengan kata qalu salama dalam ayat tersebut, pernah terjadi pada suatu ketika manakala seorang lelaki mencaci maki seorang lelaki lain di hadapan Rasulullah SAW. lalu yang kena caci berucap: ‘alaikassalam (semoga engkau selamat), tatkala itu Rasulullah SAW.bersabda: “ingatlah sesungguhnya ada malaikat di antara kamu berdua yang membelamu, setiap kali orang itu mencacimu, malaikat tersebut berkata: “bahkan kamulah yang berhak”, kamulah yang berhak dicaci. Dan apabila kamu katakan kepadanya: ‘alaikassalam, maka malaikat itu berkata, “tidak, dia tidak berhak mendapatkannya, engkaulah yang berhak mendapatkannya”.


Hadis tersebut menjelaskan kita bahwa yang berhak mendapatkan keselamatan adalah orang-orang yang baik hati tidak membalas keburukan orang lain dengan keburukan pula melainkan memberi do’a selamat kepada pencacinya, itulah hakikat makna qalu salama. Menurut Mujahid dalam tafsir Ibnu Katsir: makna qalu salama adalah mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung petunjuk. Sa’id ibnu Jubair mengatakan bahwa mereka menjawab dengan kata-kata yang baik. Sementara Al-Hasan Al-Basri berucap maknanya adalah: “salamun alaikum” (semoga kalian mendapatkan keselamatan). Keselamatan yang dmaksudkan dalam kasus ini adalah tertuju kepada tukang caci sebagai do’a daripada orang yang dicacinya. Artinya Allah dan RasulNya menyuruh kita untuk berdo’a keselamatan sesama muslim termasuklah kepada orang-orang yang mencaci maki kita agar dia mendapatkan petunjuk daripada Allah SWT.

  

Palembang, Khamis; 27 F e b r u a r i 2022 M

   24 Jumadil Akhir 1443 H

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • HAMBA AR-RAHMAN

Terkini

Topik Populer

Iklan

Close x