Di bawah langit Jakarta yang kelabu, di tepi Laut Sulawesi yang ombaknya menyanyikan rahasia kuno, Indonesia dan Malaysia menuliskan babak baru dalam kisah panjang mereka yang penuh intrik. Pada 27 Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, bak dua tokoh dalam novel romansa sejarah, berjabat tangan dengan senyum penuh makna. Mereka menyegel janji untuk mengelola bersama Blok Ambalat, wilayah kaya minyak dan gas yang telah menjadi medan sengketa selama hampir setengah abad. Media menyebutnya sebagai kemenangan diplomasi, sebuah tarian harmoni antara dua sahabat lama. Namun, di balik kemilau kata-kata manis dan janji kerja sama, ada bayang-bayang nestapa yang mengintai: Indonesia, seperti kekasih yang terlalu mudah memaafkan, mungkin tengah menyerahkan lebih dari yang seharusnya, mengorbankan kedaulatan, kekayaan, dan harga diri bangsanya demi ilusi kedamaian.
Ambalat bukan sekadar titik di peta; ia adalah simbol kedaulatan, darah dan air mata nelayan Kalimantan Utara, serta harapan akan harta karun energi yang tersimpan di dasar lautnya. Sejak Malaysia menerbitkan Peta 1979, mengklaim Ambalat berdasarkan garis pangkal lurus dan putusan Mahkamah Internasional (ICJ) 2002 atas Sipadan dan Ligitan, Indonesia telah berdiri teguh. Berpijak pada Deklarasi Djuanda 1957 dan Perjanjian Tapal Batas Landas Kontinen 1969, Indonesia menegaskan bahwa Ambalat adalah miliknya, hak yang diperkuat oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Namun, kini, seperti seorang bangsawan yang terpikat pesona tetangga, Indonesia memilih jalan *joint development*—pengelolaan bersama—tanpa menyelesaikan sengketa hukum terlebih dahulu. Anwar, dengan kehangatan seorang sahabat lama, menyebut Prabowo “kawan dekat,” dan keduanya berjanji untuk menari bersama di atas kekayaan Ambalat. Tetapi, seperti dalam kisah cinta yang kelam, ada harga yang harus dibayar, dan Indonesia tampaknya akan membayarnya dengan mahal.
Keputusan ini adalah pengkhianatan terselubung terhadap prinsip kedaulatan yang telah diperjuangkan selama puluhan tahun. Dengan menyetujui *joint development* sebelum sengketa hukum diselesaikan, Indonesia berisiko memberikan legitimasi implisit pada klaim Malaysia, yang sejatinya rapuh di bawah lensa UNCLOS. Malaysia mengandalkan interpretasi sepihak atas putusan ICJ 2002, yang tidak secara eksplisit memberikan hak atas Ambalat. Pada 2009, Indonesia dengan tegas menolak membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional, yakin akan kekuatan posisi hukumnya. Kini, langkah menuju *joint development* terasa seperti pengkhianatan terhadap keyakinan itu, seolah Indonesia rela menyerahkan mahkota kedaulatannya demi menjaga harmoni dengan tetangga. Jika sengketa ini suatu saat dibawa ke arbitrase internasional, Malaysia dapat mengklaim bahwa kerja sama ini adalah pengakuan bersama atas wilayah yang disengketakan, melemahkan posisi Indonesia hingga ke tulang. Ini seperti seorang kekasih yang, demi menyenangkan pasangannya, menyerahkan hak atas tanah leluhurnya, hanya untuk menyadari terlambat bahwa ia telah kehilangan segalanya.
Lebih jauh, kesepakatan ini menelanjangi ketimpangan ekonomi yang mencolok. Blok Ambalat, dengan cadangan minyak dan gas yang diperkirakan bernilai miliaran dolar, adalah harta karun yang bisa mengubah nasib Kalimantan Utara. Namun, Malaysia, dengan Petronas sebagai mesin migasnya yang canggih, berdiri sebagai mitra yang jauh lebih kuat. Sementara Pertamina masih bergantung pada kemitraan asing untuk proyek besar, Petronas telah menjelma menjadi raksasa global, dengan pengalaman dan teknologi yang tak tertandingi. Tanpa klausul yang jelas tentang pembagian keuntungan, transfer teknologi, atau keterlibatan perusahaan nasional, Indonesia berisiko menjadi pelayan di pesta kekayaan Ambalat. Preseden dari proyek *joint development* lain, seperti lapangan migas Malaysia-Thailand di Teluk Thailand, menunjukkan bahwa negara dengan infrastruktur lebih kuat cenderung mendominasi manfaat ekonomi. Indonesia, seperti seorang gadis desa yang terpikat janji manis, bisa saja terbangun dengan tangan kosong, menyaksikan kekayaan Ambalat mengalir ke Kuala Lumpur sementara Jakarta hanya mendapat remah-remah.
Nestapa tak berhenti di situ. Di pesisir Kalimantan Utara, para nelayan menatap laut dengan cemas, seperti kekasih yang menanti kabar dari medan perang. Eksploitasi migas di Ambalat berpotensi meracuni ekosistem laut yang menjadi tulang punggung kehidupan mereka. Tumpahan minyak, polusi, dan gangguan terhadap jalur migrasi ikan bukanlah ancaman kosong—kasus seperti Teluk Meksiko atau Laut Utara menjadi pengingat kelam. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sektor perikanan menyumbang lebih dari 20% perekonomian Kalimantan Utara. Namun, tidak ada kabar tentang kajian lingkungan atau rencana mitigasi dalam kesepakatan ini. Masyarakat lokal, yang telah lama bergantung pada laut, berisiko kehilangan mata pencaharian mereka, ditinggalkan dalam kemiskinan sementara para penguasa menikmati hasil eksploitasi. Ini adalah pengkhianatan ganda: terhadap rakyat kecil dan terhadap alam yang telah setia menjaga mereka.
Di ranah publik, kesepakatan ini bagaikan pisau yang siap mengiris kepercayaan rakyat. Media sosial, terutama platform X, telah menjadi panggung di mana suara rakyat bergema, penuh dengan luka lama dari sengketa seperti Sipadan-Ligitan. Warganet kerap mengkritik kebijakan Prabowo yang dianggap buram, dari revisi UU TNI hingga rencana evakuasi warga Gaza. Ambalat, dengan segala sensitivitasnya, berpotensi memicu badai. Tanpa komunikasi publik yang jelas, narasi bahwa Indonesia “menyerahkan” wilayahnya kepada Malaysia akan menyebar seperti api, membakar kepercayaan pada pemerintahan Prabowo. Ia sendiri pernah mengakui, pada April 2025, bahwa komunikasi publiknya kerap bermasalah. Keputusan ini, tanpa transparansi, adalah bom waktu politik yang dapat membangkitkan sentimen nasionalisme dan mengguncang stabilitas domestik. Seperti seorang kekasih yang dikhianati, rakyat Indonesia bisa berbalik melawan, menuntut keadilan atas wilayah yang mereka anggap sebagai bagian dari darah dan jiwa bangsa.
Secara geopolitik, kesepakatan ini adalah tarian berbahaya. Hubungan pribadi antara Prabowo dan Anwar, yang disanjung sebagai “sahabat lama,” menambah lapisan romansa dalam kisah ini. Namun, cinta yang membutakan bisa membawa malapetaka. Indonesia, dengan populasi dan luas wilayah yang jauh lebih besar, seharusnya memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Namun, tekanan untuk menjaga harmoni ASEAN, terutama di tengah konflik global seperti Iran-Israel, mungkin mendorong Indonesia untuk berkompromi terlalu cepat. Lebih buruk lagi, kesepakatan ini bisa memengaruhi hubungan dengan negara ASEAN lain, seperti Filipina dan Brunei, yang pernah memprotes Peta Malaysia 1979. Jika dianggap sebagai pengakuan atas klaim Malaysia, Indonesia berisiko kehilangan leverage dalam negosiasi lain, seperti perbatasan di Sabah atau Selat Malaka. Ini seperti seorang raja yang, demi menyenangkan tetangganya, membuka gerbang bentengnya, hanya untuk menemukan musuh yang lebih besar di baliknya.
Kesepakatan *joint development* ini, meski dibalut dengan janji manis diplomasi, adalah kisah cinta yang penuh pengkhianatan. Indonesia berisiko kehilangan kedaulatan, kekayaan, lingkungan, kepercayaan rakyat, dan posisi geopolitiknya. Seperti seorang kekasih yang terlalu percaya, Indonesia tampaknya lupa bahwa cinta sejati tidak menuntut pengorbanan yang merendahkan. Untuk menghindari nestapa, pemerintah harus bertindak tegas: mempublikasikan detail kesepakatan, memastikan pembagian keuntungan yang adil, melindungi lingkungan dan masyarakat lokal, serta membangun komunikasi publik yang transparan. Hanya dengan langkah-langkah ini, kisah Ambalat bisa berakhir sebagai roman yang membanggakan, bukan elegi tentang kehilangan yang tak terucapkan. Namun, jika pemerintah terus membiarkan kabut menyelimuti kebenaran, Indonesia hanya akan menjadi pahlawan tragis dalam novelnya sendiri, dikhianati oleh janji-janji yang tak pernah ditepati.
Oleh Adrian | Jurnalis Kabaran.id