terkini

Ads Google

Bintang Mahaputera: Antara Kehormatan dan Politik Kekuasaan

Redaksi
8/26/25, 22:18 WIB Last Updated 2025-08-26T15:18:50Z

 



Oleh Adrian | Perdana Indonesia


Bintang Mahaputera, sejak awal kelahirannya, dimaksudkan sebagai tanda penghargaan tertinggi negara. Ia bukan sekadar medali, melainkan simbol pengakuan atas jasa luar biasa yang memberi makna bagi bangsa. Di masa lalu, penghargaan ini diberikan kepada diplomat ulung yang menjaga martabat Indonesia di dunia internasional, akademisi yang mengubah wajah pendidikan, juga pejuang rakyat yang berkorban tanpa pamrih. Namun, penganugerahan terbaru justru menghadirkan perdebatan yang tak bisa dihindari.


Benar, ada nama yang pantas menerima. Kita bisa menyebut tokoh-tokoh yang selama bertahun-tahun berjuang di bidang pendidikan, ekonomi, atau kebudayaan. Mereka adalah sosok yang bekerja senyap, melahirkan karya nyata, dan meninggalkan jejak mendalam. Tetapi, di samping itu, publik juga menyaksikan daftar penerima yang penuh wajah politisi aktif, pejabat yang masih memegang jabatan, bahkan tokoh dengan rekam jejak kontroversial. Dari sinilah pertanyaan lahir: apakah penghargaan tertinggi ini benar-benar soal jasa besar, atau sekadar tanda terima kasih politik bagi mereka yang dekat dengan lingkar kekuasaan?


Kritik semakin menguat karena daftar penerima kerap terlihat sangat elitis. Mayoritas berasal dari lingkar birokrasi, partai, dan pejabat tinggi negara. Hampir tidak pernah kita dengar seorang guru di pedalaman yang puluhan tahun mengajar tanpa fasilitas, seorang petani kecil yang menjaga ketahanan pangan negeri, atau seorang peneliti yang membaktikan hidupnya untuk sains, diberi kehormatan serupa. Padahal, bukankah mereka juga pejuang bangsa dengan cara yang tak kalah heroik? Sayangnya, dalam tradisi penghargaan negara, wajah rakyat kecil kerap hilang, digantikan dominasi elite yang akrab dengan istana.


Masalah lain yang perlu digarisbawahi adalah soal transparansi. Proses penentuan penerima berlangsung tertutup, tanpa kriteria yang jelas di mata publik. Kita tidak tahu apakah ada ukuran objektif—seperti kontribusi nyata, inovasi, atau pengabdian jangka panjang—atau sekadar pertimbangan politik jangka pendek. Dalam iklim demokrasi yang sehat, penghargaan publik mestinya bisa dipertanggungjawabkan, bukan hanya ditetapkan di ruang gelap kekuasaan. Tanpa transparansi, wajar jika muncul sinisme: bahwa Bintang Mahaputera bukan lagi penghargaan atas prestasi, melainkan legitimasi simbolik bagi mereka yang sedang berada di orbit politik tertentu.


Sebagai seorang jurnalis yang bertahun-tahun menyaksikan pasang surut negeri ini, saya melihat ada bahaya besar jika tanda kehormatan kehilangan makna. Medali yang seharusnya melambangkan dedikasi justru akan menjadi beban simbolis, karena publik tak lagi percaya pada nilainya. Sebuah penghargaan tertinggi tidak boleh sekadar menjadi ornamen protokol, apalagi hadiah politik. Ia harus menjadi cermin integritas, bukan alat diplomasi kekuasaan.


Negara harus ingat: kehormatan sejati tidak bisa dibeli, tidak bisa dinegosiasikan, dan tidak bisa dipaksakan. Kehormatan hanya lahir dari rekam jejak yang tulus, dari pengabdian panjang yang meninggalkan jejak dalam sejarah. Jika Bintang Mahaputera terus diberikan dengan standar ganda, maka bukan penerimanya yang dipermalukan, melainkan negara sendiri yang kehilangan wibawa.


Pada akhirnya, pertanyaan yang harus kita ajukan sederhana namun mendasar: apakah Bintang Mahaputera masih pantas disebut sebagai penghargaan tertinggi bangsa, ataukah ia telah berubah menjadi sekadar ornamen politik di tangan penguasa? Jawaban atas pertanyaan itu tidak hanya menentukan makna sebuah tanda jasa, tetapi juga mencerminkan kualitas moral bangsa ini dalam menghargai jasa dan pengabdian yang sejati.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Bintang Mahaputera: Antara Kehormatan dan Politik Kekuasaan

Terkini

Topik Populer

Iklan

Close x