Jakarta Kabaran.id - Kasus dugaan pemerasan yang menjerat mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer alias Noel menjadi peringatan keras bagi birokrasi di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa tindakan memperlambat, mengulur waktu, atau menyulitkan layanan publik untuk memperoleh keuntungan merupakan tindak pidana pemerasan, Senin (25/8/2025).
Praktik ini, menurut pengamatan publik, tidak hanya terjadi di kalangan elit, tetapi juga di berbagai level birokrasi, dari kementerian hingga kecamatan. Ketua Umum Kabeh Sedulur Tamansiswa Indonesia, Indria Febriansyah, menilai kasus Noel harus menjadi momentum untuk membenahi sistem birokrasi.
“Saya berharap kasus ini menyadarkan ASN untuk mengutamakan pelayanan publik. Jika tidak mampu, lebih baik mengundurkan diri, karena masih banyak rakyat yang siap menjalankan tugas dengan amanah,” ujar Indria, mantan Presiden Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, kepada wartawan senior Gus Din di Jakarta.
Indria mendorong KPK dan Kejaksaan untuk memperluas pengusutan kasus serupa di setiap dinas dan kementerian demi pelayanan publik yang bersih. Ia mengacu pada teori birokrasi rasional-legal Max Weber, yang menekankan birokrasi harus berjalan berdasarkan aturan jelas, profesionalisme, dan pelayanan adil. “Ketika pejabat memperlambat pelayanan demi keuntungan pribadi, birokrasi menjadi alat pemerasan,” tegasnya.
Dalam kerangka Good Governance UNDP, Indria menyoroti pentingnya akuntabilitas dan responsivitas terhadap kebutuhan masyarakat. “Birokrasi yang menyalahgunakan kewenangan merusak kepercayaan publik dan memperlambat pembangunan nasional,” katanya.
Kasus Noel menjadi peringatan bagi pemerintahan Prabowo bahwa praktik rent-seeking dan petty corruption masih mengakar. Tanpa reformasi sistem layanan publik dan pengawasan ketat, visi negara yang kuat dan berdaulat dapat tersandera oleh perilaku aparat yang merugikan rakyat.