by Adrian | Perdana TV
Ketika seorang Sekjend partai besar mendapat amnesti dari Presiden, cerita itu terdengar seperti bab tambahan dari novel politik yang sudah terlalu sering kita baca: penuh intrik, penuh janji manis, tapi pahit di lidah rakyat.
Amnesti, yang sejatinya adalah pintu maaf negara demi kepentingan yang lebih besar, berubah makna jadi sekadar kartu “get out of jail free” bagi mereka yang dekat dengan lingkar kekuasaan.
Publik pun diajak menelan narasi “rekonsiliasi demi bangsa”, sementara pertanyaan paling mendasar—apakah hukum masih punya wibawa, ataukah sudah jadi chip tawar-menawar kekuasaan—disapu ke bawah karpet merah istana.
Ironinya, rakyat hanya bisa menghela napas, karena dalam politik kita, keadilan terlalu sering terasa seperti janji kampanye: gampang diucap, tapi jarang ditepati.
Dan di balik senyum resmi dan pidato yang menenangkan, ada aroma transaksional yang sulit dihapus. Amnesti yang semestinya jadi keputusan moral, kini terasa seperti koin politik yang dilempar di meja kekuasaan—satu sisi bergambar “demi persatuan bangsa”, sisi lain bertuliskan “balas budi dan kalkulasi elektoral.”
Ketika rakyat melihat pejabat tinggi dengan mudah disapu bersih dosanya, lalu membandingkannya dengan warga kecil yang terjerat hukum karena kesalahan sepele, rasa percaya pada sistem pun makin rapuh.
Kita pun bertanya-tanya: apakah negara ini sedang membangun masa depan yang adil, atau hanya memperpanjang bab lama di mana hukum tunduk pada gengsi dan kepentingan?
%20(1)-min.png)

%20(1)-min.png)
