terkini

Ads Google

DPR, Karpet Merah Oligarki, Kuburan Lingkungan

Redaksi
9/01/25, 12:32 WIB Last Updated 2025-09-01T05:32:00Z

 



Oleh: Adrian | Perdana Indonesia


Serius! saya terheran-heran: bagaimana bisa sebuah lembaga yang seharusnya menjadi penjaga kepentingan rakyat justru berkali-kali berubah menjadi perpanjangan tangan oligarki. Bukan rakyat yang mereka wakili, melainkan pemilik modal yang mengintip peluang di balik pasal dan ayat.


Kita sudah melihat buktinya. UU Minerba 2020 memperpanjang izin tambang tanpa lelang—karpet merah terbentang untuk korporasi batubara, sementara lubang-lubang tambang dibiarkan menganga, meninggalkan racun bagi air tanah dan nyawa warga sekitar. Tak ada reklamasi, tak ada tanggung jawab. Hanya jejak kehancuran yang diwariskan.


UU Cipta Kerja 2020/2023 lebih jauh lagi: instrumen AMDAL yang mestinya jadi benteng perlindungan dipangkas habis. Proyek skala menengah bebas melenggang tanpa kajian lingkungan serius. Ironisnya, perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan justru dilegalkan lewat mekanisme “pengampunan izin”. Sebuah dosa yang dicuci dengan tinta undang-undang.


Kemudian UU IKN 2022, dengan segala klaim “hijau” yang terdengar seperti parodi. Hutan Kalimantan yang menjadi paru-paru dunia digadaikan demi sebuah kota baru yang bahkan belum tentu berhasil. Orangutan, bekantan, dan satwa endemik lainnya kehilangan rumah, sementara rakyat kecil hanya jadi penonton yang kelak akan menanggung bencana ekologis.


Belum cukup, UU Energi Baru Terbarukan 2023 menyelundupkan pasal untuk menyamarkan PLTU batubara sebagai “energi baru”. Inilah puncak ironi: energi kotor disulap menjadi energi masa depan. Di tengah dunia yang berjuang keluar dari jerat krisis iklim, DPR kita justru melanggengkan umur batubara.


Dan di balik semua itu, revisi demi revisi UU Kehutanan menjadi pintu belakang deforestasi. Hutan adat dikorbankan, tanah ulayat direbut. Padahal masyarakat adat adalah benteng terakhir yang menjaga keseimbangan ekologi. Mereka yang merawat bumi sejak sebelum republik ini berdiri, kini justru dipinggirkan atas nama pembangunan.


Lingkungan hidup, udara bersih, air tanah, tanah adat—semua itu adalah hak masyarakat luas. Tetapi hak itu terus digadaikan di meja rapat Senayan. Kerugian ekologis yang terjadi tidak bisa dihitung dalam rupiah: banjir bandang, polusi udara, gagal panen, sumber air yang hilang. Itulah “biaya nyata” yang harus ditanggung rakyat dari setiap produk hukum yang lahir bukan demi mereka.


DPR seharusnya menjadi benteng terakhir rakyat, bukan kuburan harapan mereka. Tetapi dengan rekam jejak seperti ini, pertanyaan besar pun menggelayut: siapa sebenarnya yang mereka wakili—rakyat, atau para pemodal yang bersembunyi di balik pasal?


Sejarah akan mencatat, dan rakyat akan mengingat. Karena hutan yang hilang tak bisa tumbuh kembali dalam satu generasi, dan air yang tercemar tak bisa dimurnikan oleh janji politik.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • DPR, Karpet Merah Oligarki, Kuburan Lingkungan

Terkini

Topik Populer

Iklan

Close x