Oleh : Rahmat Nusantara
Rabu pagi, tepatnya di tanggal 3 Mei 2023 terjadi peristiwa yang menggemparkan jagat maya, hal itu terjadi tepatnya di Kota Beograd, Serbia. Seorang pelajar yang berinisial KK yang masih berusia 13 tahun melakukan penembakan terhadap teman sekelasnya. Ia melakukan penembakan itu menggunakan senjata yang dimiliki oleh ayahnya. Atas kejadian tersebut, 9 orang tewas dimana 8 diantaranya adalah teman sekelas dan 1 orang petugas keamanan sekolah.
Dilain waktu, sebuah kejadian yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur tepatnya pada senin 27 Februari 2023. Seorang anak berinisial MR (11 Tahun) melakukan aksi bunuh diri dengan cara gantung diri pintu dapur rumahnya. Ia sendiri sempat dilarikan ke klinik setempat. Nahas, nyawa nya tak tertolong setiba di klinik dan dinyatakan meninggal.
Dua kisah di atas lahir dari satu akar yang sama: perundungan. KC, bocah tiga belas tahun, menembakkan peluru bukan untuk gagah-gagahan, melainkan untuk membalas luka yang selama ini di pendam dan ditertawakan. Sementara MR, sebelas tahun, memilih mengakhiri hidupnya, hanya karena lelah menanggung ejekan tentang sesuatu yang tak bisa ia ubah, yaitu ketiadaan seorang ayah.
Dua kisah, dua nyawa muda, hanyalah serpihan dari lautan penderitaan yang lahir dari tawa yang salah tempat, dari candaan yang menusuk dalam. Ironisnya, para pelaku dan korban sama-sama masih duduk di bangku sekolah, tempat seharusnya tumbuh pengetahuan, bukan luka.
Mengapa ini terjadi? Karena masa remaja adalah masa pencarian jati diri. Mereka ingin diakui, ingin terlihat kuat, ingin populer, dan kadang jalan yang dipilih justru dengan merendahkan orang lain, menjadikan rasa sakit sebagai bahan hiburan.
Lebih menyedihkan lagi, banyak yang menganggap perundungan hanyalah gurauan. Ada yang diam, ada yang pura-pura tidak tahu, sementara korban menyimpan ketakutan di dada, takut bersuara, takut tak dipercaya, takut disakiti lagi.
Kini, perundungan tak hanya di sudut-sudut sekolah, tapi juga di layar ponsel, di dunia maya yang tanpa batas. Di sana, pelaku bersembunyi di balik nama samaran, sementara korban semakin tenggelam dalam sunyi.
Kita tak boleh tinggal diam. Lingkungan, orang tua, guru, sahabat, dan keluarga harus menjadi pelindung, pengawas, dan penenang. Pelaku perlu diberi efek jera, agar tahu bahwa luka bukan mainan. Korban perlu dipeluk, dipulihkan, agar mereka kembali percaya bahwa dunia masih punya tempat aman.
Mari berani bergerak, menciptakan ruang yang penuh kasih, tempat setiap jiwa bisa tumbuh tanpa takut, tempat tawa tak lagi menjadi senjata, dan kebaikan menjadi bahasa yang kita wariskan bersama.
Sudah saatnya kita berhenti menertawakan luka, dan mulai belajar menyembuhkannya.