JAKARTA, KABARAN.ID - Menjelang peringatan Hari Listrik Nasional (27 Oktober), banyak warga justru kembali menghadapi kegelapan akibat pemadaman yang masih sering terjadi. Ironi ini menyoroti jurang antara perayaan simbolis dan kenyataan di lapangan, di mana kualitas layanan listrik masih jauh dari harapan.
Pemadaman listrik kerap disebabkan oleh beragam faktor — mulai dari infrastruktur yang menua, cuaca ekstrem, hingga beban penggunaan yang berlebih. Namun, bagi masyarakat, alasan-alasan teknis itu jarang menjadi penghibur. Setiap kali lampu padam, aktivitas rumah tangga terganggu, usaha kecil merugi, dan risiko kerusakan alat elektronik meningkat.
Kekecewaan publik semakin terasa ketika gangguan terjadi berulang kali di wilayah yang sama. Banyak warga menilai, dengan investasi besar yang digelontorkan pemerintah dan perusahaan listrik, seharusnya keandalan pasokan sudah jauh lebih baik.
“Setiap tahun listrik diperingati, tapi setiap tahun pula kami harus bersabar dengan mati lampu, ” keluh warga yang terdampak. Ungkapan itu mencerminkan keresahan yang meluas, terutama di daerah-daerah yang sering menjadi korban pemadaman bergilir.
Ketimpangan antara perayaan Hari Listrik Nasional dan realitas yang dihadapi masyarakat menjadi pengingat penting: merayakan kemajuan seharusnya diiringi dengan perbaikan nyata. Listrik bukan sekadar infrastruktur, melainkan kebutuhan dasar yang menentukan kualitas hidup dan produktivitas bangsa.
Pada akhirnya, Hari Listrik Nasional akan lebih bermakna bila dirayakan dengan tindakan nyata — memperkuat jaringan distribusi, mempercepat perbaikan gangguan, dan memastikan setiap rumah di Indonesia mendapatkan pasokan listrik yang stabil, aman, dan terjangkau.
%20(1)-min.png)

%20(1)-min.png)
