Oleh Adrian | Perdana Indonesia
Lucu ya, di negeri ini — anak sembilan tahun bisa disiksa sesadis-sadisnya di sekolah, tapi yang disidang malah orang tuanya. Perjuangannya yang konsisten dan persisten berujung, dituduh mencari harta benda.
Leon, Masih ingat? Kasus di Sukabumi ini bukan sekadar soal penganiayaan anak. Ini soal bagaimana sistem — dari sekolah “terhormat”, dinas pendidikan, sampai aparat hukum — bisa kompak menutup mata dan menulis ulang kenyataan.
Semuanya begitu rapi, seperti drama dengan naskah yang sudah disiapkan: siapa yang jadi korban, siapa yang harus disalahkan, siapa yang pura-pura peduli.
LPSK sudah turun langsung ke rumah korban, mencatat, mendengar, menyelidiki. Tapi apa daya, kebenaran sering kalah oleh kop surat dan tanda tangan pejabat.
Bayangkan, surat kesepakatan damai yang katanya sudah diteken kedua belah pihak — ternyata palsu.
Ya, palsu. Direkayasa demi satu tujuan: menutup malu institusi. Hebat bukan? Anak kecil babak belur di tangan orang dewasa, tapi justru orang dewasa di balik meja yang memelintir cerita.
Dan ketika orang tua korban mencari keadilan, muncul tuduhan baru: katanya “minta uang miliaran.” Padahal LPSK sendiri bilang, kalaupun ada restitusi, itu hak korban, bukan aib. Tapi ya begitulah — di negeri di mana pelaku berkoneksi kepada pihak yang berjas rapi, korban selalu dianggap pembuat gaduh. Korban kekerasan dan penganiayaan selalu dituduh playing viktim. Tidak manusiawi!
DPRD Kota Sukabumi kini menyiapkan rekomendasi atas dugaan rekayasa hukum ini, yang akan ditembuskan ke Mabes Polri.
Pertanyaannya sederhana: beranikah mereka membongkar borok kawannya sendiri?
Atau lagi-lagi, semuanya akan dibungkus rapih dengan kata sakti: “sudah damai."
Karena di negeri ini, keadilan sering kali tak butuh bukti, cukup punya posisi.
Dan di sini selain Tuhan, hanya Netizen yang bisa membantu!