Oleh Adrian | Perdana Indonesia
Ada momen dalam hidup seorang pejabat yang tidak bisa dibeli oleh pencitraan, dikemas oleh kamera, atau dipoles oleh tim humas—momen ketika kemanusiaan berbicara lebih keras daripada jabatan. Dan itulah yang terjadi ketika Dedi Mulyadi berdiri di tengah Aceh yang luluh lantak, menyebut satu nama dengan suara pecah, "Teh Dedeh…"
Hampir seminggu mereka hilang kontak. Tak ada kabar. Tak ada sinyal. Hanya kecemasan yang tumbuh seperti banjir yang menelan kampung demi kampung di Aceh. Keluarga di Jawa Barat gelisah, kakak-kakak memohon dengan suara yang bahkan pejabat setinggi Gubernur pun tak bisa menolak:
"Kamu kan gubernur… masa nggak bisa cari saudara sendiri?"
Lalu Dedi Mulyadi terbang. Bukan untuk seremoni. Bukan untuk kamera. Ia datang dengan mata yang barangkali tidak tidur, membawa bantuan untuk rakyat Aceh, Sumbar dan juga Sumut, tapi membawa doa yang jauh lebih berat: melakukan misi pencarian dalam menemukan kakaknya dalam keadaan hidup.
Uniknya Dedi Mulyadi tidak langsung ke Aceh, tapi ke Sumatera Barat terlebih dahulu. Untuk membelikan logistik di Padang, lalu mendistribusikannya ke Sumbar, Sumut dan Aceh. Ia betul betul amanah. Tidak egois untuk langsung saja ke Aceh dan mencari saudaranya. Ia mendahulukan kepentingan rakyat banyak ketimbang kepentingan dirinya dan keluarganya sendiri. Masya Allah!
Sampai momen itu terjadi. Di sebuah titik pengungsian yang basah air mata dan lumpur, Teteh Dedeh berlari memeluknya.
Tangis itu bukan tangis publik—itu tangis rumah. Tangis seorang kakak yang hilang kontak berhari hari lalu dipeluk kembali.
"Nuhun Aa… ya Allah… hatur nuhun…" Teteh sae (sehat)?
Kalimat yang sederhana, tapi lebih jujur, lebih tulus dari pidato setahun penuh.
Dan di situ publik melihat sesuatu yang banyak pemimpin lupa: jabatan bisa ditanggalkan, tapi keluarga dan kemanusiaan tak pernah punya masa bakti.
Dedi tidak sedang membuktikan apa-apa. Ia hanya pergi menemui darahnya. Tapi justru di situlah ia membuktikan segalanya—bahwa amanah itu bukan soal hadir di podium, tapi hadir saat dibutuhkan.
Samsul Bahri, suami Teteh Dedeh—mantan prajurit TNI, pernah duduk di DPRD Aceh—pun ditemukan selamat bersama keluarga. Lengkap. Utuh. Seperti doa yang dikembalikan Tuhan tanpa cacat sedikit pun.
Publik yang berbeda pilihan politik dengan pilihan KDM di Pilpres kemarin. Sampai menuduh Dedi Mulyadi pencitraan, hingga menuding Aceh sebagai basis dan lumbung suara Anies Baswedan. Sehingga ini momentum bagus untuk meraih simpati. Sungguh jahat memang kalian, dalam bencana pun kalian masih sempat-sempatnya mempolitisir. Tega!
Tapi hari itu, di antara lumpur dan reruntuhan, rakyat melihat seorang pemimpin yang lebih dulu menjadi manusia sebelum menjadi gubernur ataupun kelak menjadi Presiden. Dan bukankah bangsa ini sedang rindu yang seperti itu? Bukankah kita ingin merasakan kasih sayang tulus seperti Kang Dedi kepada kakaknya, teh dedeh?
Karena pemimpin yang baik bukan yang paling pintar merangkai kata, tapi yang paling tulus, jujur dan amanah dalam mengabdi dan bekerja.
Hari ini kami menyaksikan sebuah keteladanan dari seorang Kang Dedi Mulyadi.
#kdm #tehdedeh #aceh
%20(1)-min.png)

%20(1)-min.png)
