Oleh Adrian | Perdana Indonesia
Banjir datang tanpa mengetuk pintu. Air tidak bertanya dulu apakah gubernurnya sedang di Bandung, di Purwakarta, atau tengah menyeka keringat di tanah bencana Sumatera. Alam punya jadwal sendiri. Dan hari itu, ketika Jawa Barat diguyur hujan deras hingga beberapa titik terendam, Kang Dedi Mulyadi justru berada jauh di sisi lain negeri—membawa bantuan untuk saudara-saudara kita yang lebih dulu tertimbun lumpur dan kehilangan rumah.
Lalu haters KDM gaduh. “Kenapa tidak di Bandung?” seolah urusan bencana hanya soal lokasi kaki berdiri, bukan arah kepala berpikir. Mereka lupa: tugas pemimpin bukan sekadar hadir di foto, tapi berpihak pada solusi yang lebih panjang umurnya.
KDM memang tidak memegang payung di tengah genangan Bandung waktu itu, tapi dia bicara soal akar masalah yang sebenarnya—kerusakan hulu, alih fungsi lahan, ruang hijau yang pelan-pelan menjadi beton. Banjir bukan drama sehari. Ia adalah memo panjang dari alam tentang salah urus tanah bertahun-tahun.
Mereka yang menuduh sering lupa bertanya: siapa pejabat yang sejak dulu berkampanye tentang memuliakan alam? Siapa yang menyuruh orang menanam lagi, mengikat pohon dengan kain sebagai simbol hormat—bukan merusak, tapi merawat?
Siapa yang berkali-kali menolak logika pembangunan yang memperlakukan hutan hanya sebagai angka hektare di lembar disposisi?
Dedi Mulyadi mungkin tidak sempurna, kalian suka sebut beliau Gubernur Konten, seolah ngonten itu tercela, padahal Tontonan tentang KDM itu selalu menjadi tuntunan.
Tak ada pemimpin yang lahir dari langit. KDM juga punya kekurangan, karena beliau juga manusia biasa. Sama seperti kita. Tapi pada banjir kemarin, beliau justru menunjukkan karakter penting: kemanusiaan tak mengenal batas provinsi. Ketika Sumatera menangis, beliau datang. Ketika Jabar banjir, ia bicara jujur: masalah kita bukan air yang turun hari ini, tapi kebijakan yang diabaikan sejak lama. Kurang apa KDM sudah keluarkan pergub alih fungsi hutan, melakukan normalisasi sungai, pembongkaran bangunan liar hingga terakhir mengeluarkan surat edaran atau merancang Pergub moratorium penebangan pohon di hutan.
Di tengah politik pencitraan, kita butuh pemimpin yang pikirannya lebih jauh dari kamera. Yang berani berkata: “Solusi itu bukan evakuasi saja, tapi mencegah sebelum air menghantam rumah.” KDM memilih jalan yang tidak populer—jalan yang lebih panjang, tapi lebih benar.
Dan kalau memilih pemimpin hari ini adalah memilih arah peradaban kita ke depan, maka pertanyaannya sederhana:
Saat tulisan ini saya posting, KDM sudah pulang ke Jabar. Stop kalian, ya kaliam Haters KDM nyuruh pulang lagi.
#️⃣ #BanjirJabar #DediMulyadi #LingkunganHidup
%20(1)-min.png)

%20(1)-min.png)
