terkini

Ads Google

Dimana Bumi Dipijak Disitu Rakyat Dipajak

Redaksi
9/02/25, 20:21 WIB Last Updated 2025-09-02T13:21:14Z



Oleh Adrian | Perdana Indonesia


 “Di mana bumi dipijak, di situ rakyat dipajak.” Ungkapan itu kini terasa makin relevan. Di awal pemerintahan baru 2025, saat ekonomi diproyeksikan tumbuh 5,2%, justru pajak menjelma senjata tajam yang menekan rakyat kecil. Ironisnya, di tanah air yang kaya minyak, gas, batu bara, nikel, dan emas, hasil bumi itu seolah menguap tanpa bekas.


Pajak Naik, Rakyat Tercekik


Rasio pajak terhadap PDB pada awal 2025 hanya 7,95–8,42%, jauh di bawah target 11%. Namun, pemerintah tetap memaksa menaikkan tarif PPN menjadi 12% per Januari. Dampaknya nyata: inflasi melonjak, daya beli melemah, dan lahirlah “orang miskin baru” dari kelas pekerja.


Di daerah, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) jauh lebih brutal. Di Pati dan Jombang, tarif melesat 250–1.000%, memicu protes besar-besaran karena dianggap sebagai perampasan aset dasar warga. Sementara itu, insentif PPh final 0,5% bagi UMKM terancam dihentikan, padahal pelaku usaha kecil justru sedang berjuang bertahan di tengah ekonomi lesu. Tak heran media sosial penuh keluhan: “Pajak merajalela, rakyat terjepit.”


APBN yang Rapuh dan Ketergantungan Pajak


APBN 2025 sebesar Rp3.621,3 triliun bertumpu pada pajak—71–82% atau sekitar Rp2.189,3–Rp2.490,9 triliun dari pendapatan negara. Pajak penghasilan menyumbang 55–57%, disusul PPN dan PPnBM sekitar 40%. Namun hingga Mei 2025, realisasinya baru 8,6–25,4%, menyebabkan defisit awal tahun Rp187,8 triliun.


Ketergantungan ini berbahaya. Tanpa pajak, APBN ambruk. Tapi pajak yang menekan justru melahirkan kemiskinan baru, di tengah ketimpangan yang belum juga menurun.


SDA Melimpah, Kontribusi Minimal


Padahal, Indonesia menyimpan SDA bernilai ribuan triliun rupiah. Namun kontribusi sektor ini melalui PNBP 2025 hanya Rp218–350 triliun, alias 7–18% dari total pendapatan negara. Penyebabnya klasik: ekspor mentah, korupsi, dan pengelolaan tak transparan. Royalti menyusut, sementara investor asing mengeruk untung besar.


Dana Bagi Hasil (DBH) memang dialokasikan ke daerah penghasil—15,5% untuk minyak, 30,5% untuk gas—tetapi sering mandek di birokrasi atau dihabiskan untuk proyek tak prioritas. Hilirisasi digembar-gemborkan, namun ekspor SDA masih mendominasi 62,7% dari total ekspor USD264,7 miliar, lebih banyak memperkaya swasta dan asing ketimbang kas negara.


Rakyat pun bertanya di media sosial: “Kenapa gas melon langka, padahal produksi cukup? Ke mana hasil tambang pergi?” Kritik ini menegaskan paradoks abadi: negeri kaya raya, tapi rakyat tetap miskin.


Jalan Keluar: Pajak Adil, SDA untuk Rakyat


Kritik tanpa solusi hanya jadi gema kosong. Karena itu, langkah perbaikan perlu segera ditempuh:


1. Reformasi pajak progresif – ringankan beban UMKM dengan memperpanjang insentif PPh 0,5%, batalkan kenaikan PBB ekstrem, dan kenakan pajak lebih tegas pada korporasi besar serta elite.



2. Optimalkan SDA – tingkatkan kontribusi PNBP hingga 20–30% lewat hilirisasi transparan, dengan DBH yang benar-benar dipakai untuk rakyat di daerah penghasil.



3. Demokratisasi kebijakan – libatkan publik dalam diskusi dan siaran nasional soal pajak, gunakan hak veto presiden untuk membatalkan aturan memberatkan.



4. Pengawasan ketat – perkuat lembaga antikorupsi agar APBN dan SDA tidak bocor, serta tekan pemborosan anggaran pejabat untuk mengurangi defisit.




Dengan langkah ini, pajak bisa menjadi instrumen keadilan, bukan pemerasan. SDA pun benar-benar menjadi pilar kesejahteraan, bukan sekadar jargon pembangunan. Indonesia pantas lebih baik—dan waktunya membalik paradoks ini adalah sekarang.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Dimana Bumi Dipijak Disitu Rakyat Dipajak

Terkini

Topik Populer

Iklan

Close x