terkini

Ads Google

Membaca Fallacy dalam Retorika Ferry Irwandi

Redaksi
9/12/25, 00:22 WIB Last Updated 2025-09-11T17:27:07Z


oleh Adrian | Perdana Indonesia


Selama hampir dua dekade saya berkecimpung di dunia jurnalistik, ada pola yang selalu saya amati dari para tokoh publik: suara keras sering kali mengundang perhatian, tetapi isi argumennya belum tentu kokoh. Retorika bisa terdengar lantang, namun logika di baliknya rapuh. Fenomena ini kembali terasa ketika saya mengikuti pernyataan-pernyataan Ferry Irwandi, figur yang belakangan banyak muncul di ruang publik. Kritiknya terhadap pemerintah, militer, hingga dunia pendidikan menggema di media sosial, tetapi jika dibedah dengan kacamata logika, kita menemukan banyak kesalahan berpikir—logical fallacy—yang sebenarnya bisa membahayakan nalar publik bila dibiarkan begitu saja.


Mari kita mulai dari pernyataannya yang paling ramai dibicarakan: klaim tentang darurat militer. Ferry menilai bahwa kerusuhan massa yang terjadi di sejumlah daerah adalah bagian dari skenario besar untuk menciptakan keadaan darurat militer. Ia bahkan menyebut bahwa kondisi itu akan memberi ruang bagi militer untuk memperluas kekuasaan hingga ke ranah sipil, termasuk kemungkinan penyitaan aset masyarakat. Dari sisi retorika, pernyataan ini memang memancing imajinasi sekaligus rasa takut. Namun justru di situlah letak fallacy-nya. Ia terjebak pada apa yang disebut slippery slope—sebuah asumsi bahwa satu peristiwa kecil akan meluncur tanpa kendali menuju konsekuensi ekstrem, tanpa bukti kuat bahwa rantai sebab-akibat itu benar adanya.


Dalam kasus ini, demonstrasi politik yang terjadi memang nyata. Tetapi menghubungkannya langsung dengan penerapan darurat militer, apalagi sampai pada skenario penyitaan aset, adalah lompatan logika yang kelewat jauh. Ini bukan hanya slippery slope, melainkan juga appeal to fear. Publik digiring untuk takut, untuk merasa bahwa langkah pemerintah akan berubah menjadi otoritarian dalam sekejap. Padahal, faktanya tidak demikian. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya mengatur jelas bahwa status darurat militer hanya bisa ditetapkan Presiden, dan itu pun dengan syarat yang sangat berat: adanya invasi asing atau pemberontakan bersenjata. Tidak ada satu pun regulasi yang menyebut demonstrasi sipil sebagai syarat otomatis darurat militer. Pemerintah pun, lewat Menteri Pertahanan, dengan tegas membantah isu itu. Dalam jurnalisme, kita diajarkan untuk membedakan antara kemungkinan dan kenyataan. Klaim Ferry lebih dekat pada kemungkinan spekulatif, bukan kenyataan faktual.


Isu kedua yang tak kalah ramai adalah soal patroli siber TNI. Dari hasil pemantauan digital, unggahan Ferry dianggap mengandung pencemaran nama baik, lalu dibicarakan bersama kepolisian. Ferry menafsirkan ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap dirinya. Ia menyebut TNI tengah mencari cara untuk membungkam kritik. Sekilas, narasi ini mengundang simpati. Namun bila kita telisik, di sinilah muncul fallacy berikutnya. Ini adalah contoh false cause, yaitu mengaitkan dua hal sebagai sebab-akibat tanpa bukti yang memadai. Ferry menganggap patroli siber otomatis berarti kriminalisasi, padahal patroli siber pada dasarnya adalah kegiatan rutin banyak institusi negara, dari kepolisian hingga lembaga intelijen, untuk menjaga keamanan digital.


Masalahnya memang tidak hanya pada Ferry. Pernyataan aparat pun kerap memperkeruh suasana. Frasa yang digunakan—“ditemukan fakta dugaan tindak pidana”—terdengar ambigu. Fakta macam apa? Pasal apa yang dilanggar? Tanpa penjelasan jelas, publik akhirnya menduga-duga. Di ruang kosong inilah narasi Ferry menemukan tempatnya. Padahal data hukum sudah cukup terang: putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa pencemaran nama baik hanya bisa dilaporkan oleh individu, bukan institusi. TNI sebagai lembaga negara tidak bisa menjadi subjek yang merasa tercemar. Dengan kata lain, klaim Ferry bahwa ada kriminalisasi memang punya basis kecurigaan, tetapi logika yang dipakai terlalu sederhana. Ia menyamakan patroli siber dengan represi, padahal konteks hukumnya jauh lebih kompleks. Dari pengalaman saya, inilah contoh klasik ketika komunikasi publik yang buruk justru memberi ruang pada retorika spekulatif untuk tumbuh.


Pernyataan ketiga Ferry menyentuh ranah pendidikan, dan bagi saya ini yang paling menarik sekaligus menyedihkan. Ia mengusulkan agar jurusan S-1 filsafat dihapus karena dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman. Begitu pernyataan ini muncul, dunia akademik sontak bereaksi. Lagi-lagi, ada fallacy yang jelas di sini: false dilemma. Ferry seolah-olah menyodorkan hanya dua pilihan—jurusan filsafat dipertahankan atau dihapus. Padahal kenyataannya jauh lebih berwarna. Jurusan bisa diperbarui, diperluas, atau digabung dengan studi lain. Di banyak universitas, filsafat justru bersentuhan dengan isu-isu modern: etika kecerdasan buatan, filsafat sains, hingga bioetika. Menghapus bukanlah satu-satunya jalan.


Bukan hanya itu, klaim Ferry juga merupakan bentuk oversimplification. Ia menilai relevansi ilmu hanya dengan tolak ukur praktis: apakah lulusannya mudah mendapat pekerjaan. Padahal fungsi filsafat jauh melampaui itu. Ia melatih kemampuan berpikir kritis, refleksi moral, dan kerangka pengetahuan yang menopang banyak bidang lain. Di Oxford, Harvard, Leiden, hingga kampus-kampus di Asia, filsafat tetap menjadi bagian penting dari tradisi akademik. Di Indonesia sendiri, lulusan filsafat berkiprah di berbagai sektor, dari jurnalisme hingga kebijakan publik. Dengan mengabaikan data dan realitas itu, pernyataan Ferry hanyalah penyederhanaan berlebihan yang menyesatkan.


Sebagai jurnalis yang kerap menjadi _ghostwriter_ tokoh tokoh besar di Indonesia, saya percaya kritik terhadap negara, militer, maupun institusi pendidikan adalah hal yang sehat. Kritiklah yang menjaga demokrasi tetap bernapas. Namun kritik tidak boleh berhenti pada teriakan emosional. Ia harus dibangun dengan logika yang jernih, data yang kokoh, dan fakta yang terverifikasi. Jika tidak, kritik hanya akan menjadi retorika kosong, sekadar mengundang simpati tanpa arah. Logical fallacy adalah jebakan yang membuat kritik terdengar meyakinkan, tetapi sebenarnya rapuh.


Dalam dua dekade saya menulis, saya melihat banyak tokoh yang kariernya tenggelam karena terlalu sering mengandalkan retorika tanpa fondasi. Mereka gemar menciptakan imajinasi ekstrem, menyederhanakan realitas, atau memelintir logika. Di awal mungkin mereka populer, karena publik mudah terpikat oleh narasi dramatis. Tetapi lama-kelamaan, ketika fakta tidak berpihak, reputasi mereka runtuh dengan sendirinya. Dan publik pun belajar satu hal penting: keberanian berbicara harus sejalan dengan ketepatan berpikir.


Membongkar fallacy bukan soal menjatuhkan pribadi Ferry Irwandi. Ini soal menjaga kewarasan nalar publik. Dalam era media sosial yang serba cepat, kita terlalu mudah terpesona oleh retorika. Kita mendengar suara lantang, kita ikut marah, kita ikut takut. Padahal tugas kita sebagai warga negara adalah menguji, bukan hanya mengamini. Menguji dengan logika, dengan data, dengan hukum. Dengan cara itu, kita bisa memilah kritik yang benar-benar membangun dari sekadar spekulasi yang menyesatkan.


Pada akhirnya, apa yang bisa kita pelajari dari kasus Ferry Irwandi adalah pentingnya literasi logika. Kita tidak cukup hanya pandai membaca berita, tetapi juga harus mampu membaca pola pikir di baliknya. Kita harus bisa bertanya: apakah klaim ini logis? Apakah ia didukung bukti? Apakah ia jatuh ke dalam jebakan fallacy? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuat masyarakat lebih tahan terhadap manipulasi retorika.


Sebagai penulis yang juga sangat menyukai dunia fiksi, saya tahu betapa kuatnya daya tarik sebuah narasi. Satu kalimat bisa menyalakan imajinasi, membuat orang percaya pada sesuatu yang tidak nyata. Itu indah bila digunakan dalam novel. Tapi berbahaya bila dipakai dalam wacana publik tanpa dasar. Di situlah tanggung jawab kita bersama—jurnalis, akademisi, dan masyarakat—untuk menjaga agar narasi publik tidak terjebak pada fallacy, melainkan berdiri di atas fakta dan nalar sehat.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Membaca Fallacy dalam Retorika Ferry Irwandi

Terkini

Topik Populer

Iklan

Close x