Oleh Adrian | Perdana Indonesia
Dalam sebuah forum akademik yang biasanya terasa kaku, Purbaya Yudi Sadewa tampil berbeda. Pidatonya sebagai Menteri Keuangan lebih menyerupai obrolan panjang yang penuh tawa, sindiran, dan pengakuan pribadi yang jarang sekali kita dengar dari pejabat publik. Ia bercerita bagaimana awalnya hanya disiapkan untuk kembali menjabat Ketua LPS, tetapi justru digeser takdir ke kursi Menteri Keuangan. Dengan gaya berseloroh, ia mengaku naik gengsi, tetapi turun gaji. Dari sana suasana langsung cair, para hadirin tersenyum, dan kita menangkap gambaran tentang sosok pejabat yang tidak canggung untuk merendahkan diri sekaligus menyentil struktur birokrasi di negeri ini.
Namun di balik kelakar, tersimpan pesan serius tentang arah perekonomian. Ia mengingatkan bahwa sejak krisis 1998, Indonesia terjebak di angka lima persen. Pertumbuhan yang tampak stabil itu sesungguhnya sebuah jebakan, karena tidak cukup untuk membawa negara keluar dari perangkap pendapatan menengah. Purbaya mengutip pengalaman negara lain: Jepang, Korea Selatan, hingga Tiongkok, semuanya pernah tumbuh dua digit selama lebih dari satu dekade sebelum benar-benar lepas landas menjadi negara maju. Maka ketika Presiden Prabowo menargetkan pertumbuhan delapan persen, ia menanggapi dengan antusias. Angka itu tidak mudah, tapi mungkin, dan justru menjadi syarat bila Indonesia ingin naik kelas.
Ia menekankan bahwa kekuatan kita sesungguhnya terletak pada permintaan domestik. Hampir sembilan puluh persen mesin ekonomi Indonesia ditopang konsumsi dan investasi dalam negeri. Selama itu bisa dikelola dengan baik, kita tidak perlu gentar dengan guncangan global. Sayangnya, kebijakan dalam negeri sendiri sering kali justru mengganggu kekuatan ini. Di sinilah perdebatan klasik muncul: apakah pertumbuhan lebih baik digerakkan pemerintah atau swasta? Jawaban Purbaya sederhana, keduanya harus berjalan bersama. Satu saja tidak cukup, hanya bila pemerintah aktif dan swasta berlari, barulah ekonomi bisa melompat.
Di tengah uraian serius, ia tak segan melempar sindiran. IMF, misalnya, dianggap terlalu sering keliru dalam meramal pertumbuhan global. Prediksi yang dalam hitungan bulan berubah-ubah membuatnya berani berkata, “Mereka enggak sepintar saya.” Ruangan pun tertawa. Bahkan Rocky Gerung tak luput dari sasaran. Filosof yang gemar mengkritik politik itu diajak bercanda: “Mungkin sedikit belajar ekonomi lagi, Pak.” Pidato yang biasanya penuh istilah kaku berubah menjadi panggung humor intelektual.
Tetapi inti terpenting dari pidato itu adalah soal uang yang beredar. Dengan mengutip Milton Friedman, ia mengingatkan bahwa ekonomi bukan semata soal suku bunga. Ketika uang di sistem kering, meski bunga nol, ekonomi tetap macet. Data yang ia buka cukup mencemaskan. Pada 2018, pertumbuhan uang beredar hampir nol, dan di awal 2020 bahkan minus lima belas persen. Indonesia nyaris memasuki jurang kehancuran bila tidak ada intervensi fiskal besar-besaran. Dari sana ia menyebut periode itu sebagai masa self-destruct mode, kebijakan dalam negeri yang justru melemahkan diri sendiri.
Meski begitu, ia juga memberi apresiasi kepada Presiden Jokowi yang kala itu berani mengambil langkah luar biasa untuk menyelamatkan perekonomian. Tetapi dengan jujur ia mengatakan, selama likuiditas dikeringkan, sehebat apa pun pembangunan infrastruktur tetap tak mampu membuat ekonomi berlari. Era SBY menjadi perbandingan: infrastruktur memang tidak seheboh Jokowi, tetapi kredit tumbuh dua puluh satu persen dan uang beredar rata-rata tujuh belas persen, sehingga ekonomi lebih dekat ke enam persen. Sementara di era Jokowi, dengan likuiditas yang seret, pertumbuhan tersendat di bawah lima persen.
Ia melanjutkan dengan sebuah gambaran sederhana. Dua puluh tahun terakhir, mesin ekonomi Indonesia pincang. Jika pemerintah jalan, swasta berhenti. Jika swasta bergerak, pemerintah lambat. Akibatnya, laju hanya berputar-putar di sekitar lima persen. Padahal, solusi yang ia tawarkan tidak rumit: pastikan uang kembali mengalir ke sistem, bukan mengendap ratusan triliun di Bank Indonesia. Fakta bahwa dana pemerintah bisa menumpuk hingga ratusan triliun rupiah di BI, padahal itu dana hasil utang berbunga, menjadi ironi. Rakyat membayar bunga mahal untuk uang yang justru dibiarkan menganggur.
Meski penuh kritik, nada pidatonya tetap optimistis. Ia percaya dengan langkah cepat, misalnya menambah likuiditas dua ratus hingga tiga ratus triliun, ekonomi bisa kembali tumbuh di kisaran enam hingga enam setengah persen hanya dalam hitungan bulan. Setelah itu, reformasi struktural bisa dikerjakan: perbaikan iklim investasi, reformasi birokrasi, hingga industrialisasi. Bahkan ia menyebut siklus ekonomi Indonesia yang biasanya tujuh sampai sepuluh tahun ekspansi diselingi resesi singkat. Jika pola itu berulang, kita punya peluang tumbuh hingga 2028, bahkan 2032.
Sebagai Menteri Keuangan, Purbaya juga menyampaikan agenda praktis jangka pendek. Ia ingin memastikan penyerapan anggaran berjalan lebih cepat. Banyak kementerian baru yang masih lambat membelanjakan dana, dan ia berencana mengirim staf Kemenkeu untuk membantu percepatannya. Selain itu, ia juga menyinggung keresahan daerah akibat pemotongan anggaran yang membuat pemerintah lokal menaikkan pajak secara berlebihan. Dengan kelonggaran transfer ke daerah, ia berharap ketegangan mereda dan pembangunan bisa berjalan tenang.
Pidato itu akhirnya ditutup dengan keyakinan bahwa masa depan ekonomi Indonesia ada di tangan kita sendiri. Tidak perlu terlalu takut pada ramalan lembaga asing, tidak perlu terlalu terjebak pada pesimisme. Selama kita bisa mengelola kebijakan domestik dengan bijak, pertumbuhan tinggi bukan mustahil. Ia menegaskan bahwa target delapan persen bukan sekadar slogan politik, melainkan jalan satu-satunya untuk keluar dari jebakan kelas menengah.
Maka hadirin pun pulang dengan dua bekal. Pertama, serangkaian angka dan teori ekonomi yang dijabarkan lugas. Kedua, selingan humor dan sindiran yang membuat pesan lebih mudah diingat. Dari seorang insinyur ITB yang kemudian “tersesat” ke ekonomi, kita menyaksikan gaya baru Menteri Keuangan: seorang teknokrat yang berani blak-blakan, bersahaja, tetapi tetap percaya diri menakhodai kapal besar bernama Indonesia menuju pelabuhan delapan persen.