Oleh Adrian | Perdana Indonesia.
Hujan memang sudah mereda di utara Sumatra, tapi jejaknya masih menahan napas banyak orang. Tujuh hari langit menumpahkan seluruh kesedihan, lalu tiga hari terakhir ia pamit perlahan, meninggalkan gerimis tipis yang tak sanggup menutup duka yang lebih dalam dari selokan mana pun.
Di Aceh, Sumut, hingga Sumbar, bencana itu sudah telanjur membentuk pola luka. Rumah-rumah yang tadinya berdiri dengan kesabaran orang kampung kini hanyut seperti dilepas paksa oleh tangan besar yang tak terlihat. Sawah-sawah yang dulu subur berubah menjadi kubangan lumpur. Di Aceh saja, 165 sekolah ikut porak-poranda, seolah masa depan ikut ditenggelamkan. Dan angka kematian itu—631 jiwa—seakan menjadi penanda bahwa negeri ini makin sering belajar terlalu mahal tentang arti kelalaian.
Yang paling mengguncang bukan hanya volume airnya, tapi apa yang terbawa arus. Kayu gelondongan, panjangnya seragam, mengalir seperti prosesi jenazah hutan yang ditebang tanpa doa. Mereka bukan kayu tumbang seperti alasan klise para pejabat. Ukurannya terlalu rapi, terlalu mirip, terlalu siap dijual. Bahkan saat lumpur belum kering, truk-truk besar sudah kembali melintas, membawa kayu yang sama yang barangkali kemarin menyebabkan rumah seseorang hanyut.
Takengon, daerah yang seharusnya aman karena berada di perbukitan, justru terseret banjir bandang paling ajaib. Di sana, gunung-gunung mengirim pesan keras melalui longsoran: ada sesuatu yang dikeruk, ada sesuatu yang diambil paksa. Tambang emas ilegal berdiri seperti rahasia umum yang sengaja dibiarkan tumbuh, mengoyak perut tanah hingga tak sanggup lagi menahan hujan.
Saat PMI Aceh terjebak lima hari di Takengon, kita seperti diingatkan bahwa badai bukan sekadar cuaca. Ia adalah kombinasi dari kerakusan, pembiaran, dan ketidakseriusan menjaga benteng terakhir yang kita punya: hutan. Alam seperti sedang marah, tapi kemarahan itu tidak pernah datang tiba-tiba. Ia adalah balasan dari sesuatu yang lama kita abaikan.
Publik wajar murka. Video rumah hanyut, kampung hilang seketika, dan jeritan warga yang kehilangan segalanya membuat kita bertanya-tanya: berapa lama lagi kita akan berpura-pura tidak tahu penyebab sebenarnya? Banjir memang datang dari langit, tapi bencana datang dari manusia.
Dan setelah hujan pergi, yang tinggal bukan sekadar puing. Yang tinggal adalah cermin: menampilkan betapa rapuhnya kita ketika keserakahan dibiarkan lebih kokoh daripada pepohonan.
#BanjirSumatra #KrisisIklim #Deforestasi #AcehBerduka #RefleksiIndonesia
%20(1)-min.png)

%20(1)-min.png)
