Oleh Adrian | Perdana Institute
Hutan selalu punya cara berteriak—dan sayangnya, manusia selalu punya cara lebih keras untuk menutup telinganya. Lagu Iwan Fals “Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi” bukan sekadar balada lama; ia adalah berita harian yang diputar ulang tanpa henti: buldozer meraung, kayu tumbang, dan bumi yang kehabisan pijakan.
Raung mesin itu bukan sekadar suara metalik. Ia adalah surat kematian bagi pohon-pohon yang ratusan tahun berdiri sebagai penyangga hidup. Ketika batang-batang rimba ambruk, yang ikut runtuh bukan hanya kanopi hijau, tapi masa depan seluruh kampung yang menggantungkan hidup pada aliran air, tanah subur, dan hujan yang teratur.
Hutan tropis Indonesia dulu adalah penjaga tertua negeri ini—penyaring banjir, penahan longsor, penyimpan air, rumah bagi ribuan spesies. Kini, ia dijadikan “kavling cuan”. Monokultur sawit merayap seperti api, mengubah paru-paru bumi menjadi ladang panas yang rapuh. Akar dangkal sawit tidak bisa menahan deras air hujan. Serasahnya tipis, tanahnya padat, alirannya langsung menghantam desa-desa di hilir.
Tak heran, banjir bandang kini seperti ritual tahunan. Longsor seperti upacara wajib. Dan setiap kali rumah hanyut, setiap kali sawah tertimbun lumpur, kita bertanya: “Mengapa ini terjadi?” Padahal jawabannya sudah diteriakkan Iwan Fals lebih dari tiga dekade lalu.
Yang lebih menyakitkan, suara mesin gergaji masih terus bernyanyi. Bukan untuk rakyat, tapi untuk kantong-kantong pribadi. Mereka yang mengambil dari rimba, tapi tak pernah mengembalikannya. Mereka yang mencuri masa depan anak-anak kampung, lalu membiarkan mereka tumbuh di tepi bencana.
Namun hutan belum sepenuhnya menyerah. Masih ada sungai yang mengalir pelan, masih ada akar yang menggenggam tanah, masih ada angin yang membawa aroma dedaunan basah. Dan selama itu ada, kita masih punya pilihan: menjadi generasi yang menyelamatkan sisa-sisa rimba, atau generasi yang kelak hanya bisa bercerita tentangnya sebagai dongeng sebelum tidur.
Pada akhirnya, bukan alam yang rakus.
Manusia yang lupa bahwa bumi hanya bisa memberi jika kita berhenti mengambil terlalu banyak.
#SelamatkanHutan #BumiKita #KrisisEkologis #IndonesiaMenggugat #StopDeforestasi
%20(1)-min.png)

%20(1)-min.png)
