Oleh Adrian | Perdana Indonesia.
Zulkifli Hasan berdiri di hadapan publik dengan satu kesimpulan yang pada intinya “Jangan salahkan saya seorang.” Kata-kata itu terdengar seperti tameng, di tengah derita banjir, longsor, dan asap yang kembali mencakar Sumatera. Hutan yang dulu hijau tinggal peta berwarna cokelat pucat—dan rakyat bertanya, kalau bukan Menteri Kehutanan, siapa lagi yang paling pantas dimintai jawaban?
Di era Zulhas memimpin kehutanan, izin pelepasan dan alih fungsi kawasan hutan meningkat untuk perkebunan dan tambang. Sumatera—dengan jutaan hektare paru-paru hidupnya—pelan tapi pasti digunduli. Data KLHK menyebutkan deforestasi nasional pernah menembus ratusan ribu hektar per tahun, dan sebagian besar terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Korporasi tumbuh subur, sawit merajalela, sedangkan habitat satwa dan ruang hidup masyarakat adat menyusut seperti garis pensil yang terus digores penghapus.
Tentu kita paham, kerusakan ekologis tak hanya salah satu orang. Ada rantai panjang: perusahaan, pemda, mafia tanah, pengawas yang lalai, hingga mentalitas pembangunan instan. Tapi apakah jabatan Menhut dulu boleh bicara seolah dirinya hanya penonton? Tugas kementerian bukan hanya menandatangani izin, tetapi menimbang nadi bumi. Kalau hutan adalah tubuh bangsa, Menhut adalah dokter jantungnya. Bila pasien kritis, publik berhak bertanya: apa yang dikerjakan selama ini?
Bayangkan seandainya menteri kehutanan era SBY dan menjadi menko pangan era Prabowo sekarang ini berdiri dan berkata: “Ya, dulu saya tandatangani, dan itu bukan semata tanggung jawab saya. Tentunya sudah seizin Presiden SBY. Sekarang saya meminta menhut Raja Juli Mari kita perbaiki kebijakan salah di masa lalu ” Kalimat itu mungkin lebih menyembuhkan daripada seribu klarifikasi defensif. Publik butuh pemimpin yang mengakui beban sejarah, bukan yang mencuci tangan.
Solusinya bukan mencari kambing hitam, tetapi keberanian mengambil langkah korektif: moratorium izin baru di kawasan kritis, audit perizinan lama, transparansi peta konsesi, reforestasi besar-besaran dengan partisipasi masyarakat adat. Alam tak butuh pidato pengakuan, ia butuh tindakan. Namun sebuah bangsa kuat karena pemimpinnya mau menanggung jawab—bukan mengalihkan.
Pada akhirnya, publik hanya ingin satu hal: hutan berhenti runtuh, bencana berhenti datang. Dan dari seorang salah satu kontributor bencana, kita menunggu bukan alasan, tetapi pengakuan, dengan jawaban yang gentle man.
#Deforestasi #ZulkifliHasan #HutanSumatera #LingkunganHidup #Ekologi
%20(1)-min.png)

%20(1)-min.png)
