Pada 29 Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto dengan megah meresmikan peletakan batu pertama proyek ekosistem baterai kendaraan listrik (EV) terbesar di Asia di Karawang, Jawa Barat. Dengan investasi Rp 96,04 triliun (US$ 5,9 miliar), proyek ini digadang-gadang sebagai tonggak menuju supremasi Indonesia di industri EV global, menjanjikan nilai tambah ekonomi hingga 8 kali lipat dan penghematan impor BBM sebesar 300 ribu kiloliter. Namun, di balik narasi optimisme ini, muncul pertanyaan kritis: apakah Indonesia benar-benar menjadi pemenang, atau justru hanya pion dalam ambisi ekonomi China?
Dominasi CATL: Siapa yang Mengendalikan?
Proyek ini dipimpin oleh Contemporary Amperex Technology Co. Limited (CATL), raksasa baterai China yang menguasai 60-70% saham di lima dari enam sub-proyek baterai dan 49% di proyek penambangan nikel bersama PT Aneka Tambang (ANTAM). Indonesia, melalui ANTAM dan PT Industri Baterai Indonesia (IBI), tampaknya hanya memainkan peran pendukung dengan sumber daya nikel dan lahan sebagai modal utama. CATL, dengan teknologi canggih dan kapasitas finansialnya, jelas memegang kendali. Investasi US$ 5,9 miliar memang mengesankan, tetapi ketika sebagian besar keuntungan potensial mengalir ke pemegang saham mayoritas—yaitu CATL—Indonesia berisiko menjadi sekadar penyedia bahan mentah di rantai pasok global.
Struktur kepemilikan ini mencerminkan ketimpangan yang mencolok. Dalam joint venture pabrik sel baterai senilai US$ 1,2 miliar, misalnya, Indonesia Battery Corporation (IBC) bermitra dengan anak perusahaan CATL, tetapi detail pembagian keuntungan tetap buram. Tanpa transparansi, sulit untuk percaya bahwa Indonesia akan mendapat porsi yang adil. Jika CATL menguasai teknologi inti dan pasar ekspor, apa yang tersisa bagi Indonesia selain pajak dan royalti yang sering kali minim akibat insentif seperti pembebasan pajak penghasilan perusahaan? Ini bukan kolonialisme ekonomi dalam definisi klasik, tetapi pola ketergantungan ini mengingatkan pada hubungan asimetris di masa lalu, di mana sumber daya lokal dieksploitasi untuk keuntungan pihak asing.
Nikel: Kekayaan yang Tidak Dikuasai
Indonesia memang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, bahan baku kunci untuk baterai EV. Namun, proyek ini menunjukkan bahwa kekayaan tersebut belum diterjemahkan menjadi kedaulatan ekonomi. Penambangan nikel di Halmahera Timur, misalnya, menuai kritik dari NGO internasional karena risiko deforestasi dan polusi. Selain kerusakan lingkungan, manfaat ekonomi lokal tampak terbatas. Lapangan kerja yang dihasilkan sering kali hanya untuk posisi rendah skill, sementara keahlian teknologi tinggi tetap dikuasai CATL. Indonesia menyediakan “otot”, tetapi China memegang “otak” operasi ini.
Lebih mengkhawatirkan lagi, CATL sempat memangkas pendanaan proyek sebesar 65% pada April 2025 karena lemahnya permintaan global, menunjukkan bahwa Indonesia rentan terhadap volatilitas keputusan investor asing. Jika CATL bisa dengan mudah mengubah komitmen finansialnya, bagaimana kita bisa yakin bahwa kepentingan Indonesia akan tetap terlindungi dalam jangka panjang? Ketergantungan pada modal asing tanpa penguasaan teknologi membuat posisi Indonesia rapuh.
Janji Ekonomi vs Realitas
Pemerintah menjanjikan nilai tambah ekonomi hingga 8 kali lipat, tetapi tanpa penguasaan rantai nilai—dari penambangan hingga produksi baterai dan daur ulang—janji ini terasa hampa. CATL, sebagai pemimpin global dalam produksi baterai, akan memperkuat posisinya di pasar internasional, sementara Indonesia berisiko terjebak sebagai penyangga strategis. Keuntungan jangka pendek, seperti pajak dan lapangan kerja, tidak sebanding dengan potensi kehilangan nilai tambah jangka panjang jika Indonesia gagal mengembangkan kapasitas teknologi sendiri.
Ketiadaan transfer teknologi adalah kelemahan terbesar proyek ini. Indonesia seharusnya menuntut lebih dari sekadar modal—misalnya, pelatihan tenaga kerja lokal, pengembangan R&D domestik, atau kepemilikan saham yang lebih seimbang. Tanpa langkah ini, proyek senilai Rp 96 triliun ini berisiko menjadi “proyek mercusuar” yang lebih menguntungkan CATL dan memperkuat hegemoni China di industri EV global.
Jalan ke Depan: Kedaulatan Ekonomi atau Sekadar Pion?
Proyek baterai EV ini adalah peluang emas bagi Indonesia untuk naik kelas dalam rantai pasok global, tetapi peluang itu akan sia-sia tanpa strategi yang tegas. Pemerintah harus mendorong transfer teknologi, memperkuat kapasitas lokal melalui pendidikan dan R&D, serta memastikan pembagian keuntungan yang transparan dan adil. Selain itu, isu lingkungan harus ditangani serius untuk mencegah bencana ekologis yang akan membebani generasi mendatang.
Saat ini, proyek ini lebih mirip kemenangan strategis bagi China daripada Indonesia. CATL memperoleh akses ke nikel murah, lokasi produksi strategis, dan pasar baru, sementara Indonesia berjuang untuk lebih dari sekadar remah-remah keuntungan. Jika tidak ada koreksi arah, proyek ini hanya akan memperkuat narasi lama: Indonesia kaya sumber daya, tetapi miskin kendali. Untuk mengubah narasi itu, Indonesia harus berani menegosiasikan posisi yang lebih kuat—bukan sekadar mitra, tetapi penguasa di rumah sendiri.
Proyek baterai EV Rp 96 triliun adalah cerminan ambisi besar Indonesia, tetapi juga pengingat akan tantangan kedaulatan ekonomi. Jika kita ingin menang dalam perlombaan EV global, pemerintah harus berhenti berpuas diri dengan investasi asing dan mulai membangun fondasi teknologi dan keahlian lokal. Tanpa itu, Indonesia hanya akan menjadi penonton di panggung yang seharusnya kita kuasai.
Oleh Adrian | Jurnalis