oleh Adrian | CEO Perdana Indonesia
Hari itu, suasana Kementerian Keuangan sedikit berbeda dari biasanya. Ruang yang biasanya penuh formalitas mendadak lebih cair. Di hadapan wartawan, Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, tampil tanpa naskah panjang. Ia menjawab pertanyaan dengan spontan, ceplas-ceplos, kadang dengan nada bercanda, kadang dengan nada serius. Tidak ada kalimat diplomatis yang berputar-putar, tidak ada kehati-hatian berlebihan seperti yang biasa melekat pada pejabat teknokrat. Dari cara ia bicara saja, publik langsung bisa menangkap: gaya pengelolaan fiskal Indonesia bakal berubah.
Purbaya bukan orang baru di dunia ekonomi. Lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung ini kemudian melanjutkan studi doktoralnya di Purdue University, Amerika Serikat, dengan fokus pada ekonomi makro. Perpaduan sains eksakta dan analisis ekonomi membuatnya dikenal sebagai sosok yang kuat di data, tetapi juga berani mengambil interpretasi sendiri. Kariernya melesat saat ia menjadi ekonom di Danareksa, salah satu lembaga keuangan milik negara. Dari sana namanya dikenal luas sebagai analis yang tak segan melawan arus pendapat mayoritas.
Pada 2020, Presiden Joko Widodo menunjuknya sebagai Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Di lembaga itu, Purbaya menghadapi ujian berat: menjaga kepercayaan publik di tengah pandemi. Ia sukses mempertahankan stabilitas perbankan, dengan klaim 99,9 persen simpanan rakyat tetap aman. Di saat yang sama, ia menyiapkan skema penyelamatan bila bank jatuh, termasuk wacana pengucuran likuiditas hingga ratusan triliun rupiah. Keberaniannya membuat sebagian orang kagum, sebagian lagi mengernyit melihat langkah yang dianggap terlalu berisiko.
Karakter itulah yang kemudian dibawa Purbaya ke Kementerian Keuangan. Jika pendahulunya, Sri Mulyani Indrawati, dikenal sebagai “ibu rumah tangga hemat” yang menakar setiap rupiah dengan cermat, Purbaya lebih menyerupai “koboi fiskal”. Ia percaya uang negara harus bergerak, berputar, dan menggerakkan ekonomi rakyat. Menurutnya, menyimpan dana dalam jumlah besar tanpa manfaat langsung sama saja dengan menahan laju pertumbuhan. Pandangan inilah yang membuatnya selaras dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan pertumbuhan ekonomi ambisius: delapan persen dalam lima tahun.
Target itu jelas bukan perkara mudah. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama satu dekade terakhir berkisar di angka lima persen. Sri Mulyani berhasil menjaga stabilitas, menjaga inflasi, mengendalikan defisit, dan menahan utang agar tetap sehat. Namun bagi Prabowo, stabilitas saja tidak cukup. Ia membutuhkan lonjakan, sebuah lompatan besar yang mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat dan mendukung agenda populisnya: program makan bergizi gratis, penguatan UMKM, hingga pembangunan kampung nelayan produktif.
Di titik itulah Purbaya menjadi pilihan. Gayanya yang berani, lugas, dan cenderung langsung ke inti masalah dianggap pas untuk mengawal agenda besar itu. Ia pernah menyebut ada ribuan triliun dana pemerintah yang sebenarnya “menganggur” di sistem keuangan. Bagi Purbaya, dana itu lebih baik digerakkan ke sektor riil: membiayai kredit murah, membuka lapangan kerja, memperkuat daya beli.
Namun gaya ceplas-ceplos Purbaya bukan tanpa risiko. Beberapa kali ucapannya menimbulkan kontroversi. Ia pernah menanggapi isu demonstrasi dengan kalimat sederhana: demo itu hak rakyat. Pernyataan yang terlihat biasa saja, tetapi diucapkan dari mulut pejabat setingkat menteri bisa menimbulkan tafsir politik. Belum lagi komentar-komentar anaknya di media sosial yang memicu keributan. Semua itu membuat publik bertanya-tanya: apakah gaya blak-blakan ini akan memperkuat atau justru melemahkan posisinya di kabinet?
Meski begitu, rekam jejak profesionalnya menunjukkan konsistensi. Di LPS, ia tidak ragu mengambil keputusan cepat untuk mengantisipasi risiko. Saat pasar keuangan terguncang, ia memilih opsi besar: menyiapkan dana Rp200 triliun sebagai bantalan. “Kalau tidak berani, bisa lebih bahaya,” begitu kira-kira logikanya. Itu pula yang kemungkinan besar akan dibawanya ke Kementerian Keuangan: keberanian mengalokasikan dana besar dengan harapan mendorong pertumbuhan.
Dari sisi makroekonomi, Purbaya menghadapi pekerjaan rumah berat. Belanja sosial besar-besaran akan memperlebar defisit. Jika tidak dikelola hati-hati, utang bisa membengkak dan merusak kredibilitas fiskal yang selama ini dibangun dengan susah payah. Rating kredit internasional yang stabil selama era Sri Mulyani bisa saja terancam. Di sisi lain, inflasi pangan dan energi akan menjadi ujian, apalagi bila belanja pemerintah memicu permintaan tinggi tanpa diimbangi kapasitas produksi.
Namun Purbaya tampaknya lebih percaya diri menghadapi risiko itu. Baginya, defisit bukanlah momok selama bisa dikelola. Yang lebih penting adalah arah penggunaan uang: apakah betul-betul menggerakkan ekonomi rakyat atau hanya berhenti di birokrasi. Ia percaya multiplier effect dari belanja sosial akan mendorong pertumbuhan jauh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.
Di ranah mikro, langkahnya berpotensi lebih terasa. UMKM bisa mendapat akses kredit lebih murah, desa akan lebih hidup dengan dana segar, dan konsumsi rumah tangga bisa meningkat lewat program makan bergizi gratis. Semua itu akan membentuk efek domino yang memperkuat struktur ekonomi dari bawah.
Tetapi risiko komunikasi tetap membayangi. Pasar keuangan sensitif terhadap kata-kata pejabat tinggi. Sekali ucapan dianggap salah, kurs bisa bergejolak, investor bisa panik. Di sinilah Purbaya perlu belajar dari pendahulunya. Sri Mulyani sangat berhati-hati dalam berbicara, sadar bahwa setiap kalimatnya bisa menjadi sinyal pasar. Purbaya, dengan gaya koboinya, harus menemukan keseimbangan antara kejujuran dan kehati-hatian.
Mengelola keuangan negara bukan sekadar soal angka. Ia juga soal psikologi pasar, kepercayaan publik, dan narasi politik. Purbaya mungkin punya data, strategi, dan keberanian. Namun apakah ia mampu meramu semuanya menjadi harmoni fiskal yang stabil sekaligus produktif, itu masih menjadi tanda tanya besar.
Di akhir, penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa jelas menandai pergeseran arah. Dari era kehati-hatian menuju era keberanian. Dari stabilitas menuju ekspansi. Dari “ibu rumah tangga hemat” ke “koboi fiskal” yang percaya pada pertumbuhan.
Sejarah lima tahun ke depan akan menjadi ujian: apakah keberanian itu akan membawa Indonesia pada lompatan besar, atau justru membuat kita tergelincir oleh langkah yang terlalu cepat. Untuk saat ini, publik hanya bisa menunggu, dengan harapan bahwa gaya koboi Purbaya akan membawa lebih banyak manfaat ketimbang mudarat.
%20(1)-min.png)

%20(1)-min.png)
