Oleh Adrian | CEO Perdana Indonesia
Dua anak saya ikut merasakan program Makan Bergizi Gratis. Dari sana, saya mulai memperhatikan betul seperti apa makanan yang disajikan. Menu yang datang ternyata sangat sederhana: sebutir telur rebus, sedikit tempe orek, sayur sawi, nasi, dan pisang. Kalau dihitung secara jujur, nilai bahan bakunya bahkan tidak sampai Rp6.500. Padahal pemerintah mengalokasikan Rp10.000 untuk setiap porsi. Selisih yang hilang inilah yang membuat saya semakin gelisah.
Masalahnya bukan sekadar harga. Dengan anggaran negara yang begitu besar, kualitas makanan yang seharusnya bisa menjadi kebanggaan justru menjadi bahan keluhan. Kita bicara soal ratusan triliun rupiah uang publik. Tahun 2026, program ini diproyeksikan menelan biaya hingga Rp335 triliun. Dengan jumlah penerima sekitar 82,9 juta orang, setiap harinya negara harus mengeluarkan Rp1,2 triliun hanya untuk membiayai makan siang massal. Dari angka sebesar itu, kenyataannya hanya sekitar Rp6.500 yang benar-benar sampai ke anak-anak, sementara sisanya habis di jalan: biaya vendor, distribusi, transportasi, dapur, bahkan ongkos administrasi. Inilah bentuk pemborosan yang seharusnya bisa kita hentikan.
Yang lebih mengkhawatirkan, kita sudah berkali-kali mendengar berita tentang keracunan massal dari makanan program semacam ini. Ribuan anak di berbagai daerah dilarikan ke rumah sakit hanya karena konsumsi makanan yang tidak terjamin kebersihannya. Inilah risiko nyata dari skema katering massal: biaya operasional yang tinggi, distribusi yang rumit, dan pengawasan yang longgar. Kita bicara tentang anak-anak, generasi penerus bangsa, tapi yang dipertaruhkan adalah kesehatan mereka sendiri.
Karena itulah saya percaya, sudah saatnya kita berani memikirkan ulang program ini. Kalau benar-benar ingin menyehatkan anak-anak, mengapa tidak kita sederhanakan saja menjadi susu dan buah gratis? Susu menyediakan kalsium dan protein yang vital untuk pertumbuhan tulang, sementara buah kaya vitamin dan mineral untuk daya tahan tubuh. Kombinasi ini jauh lebih tepat sasaran ketimbang sepiring nasi dengan lauk seadanya.
Distribusi susu dan buah pun jauh lebih sederhana. Susu UHT bisa tahan lama tanpa perlu dapur besar, sementara buah bisa diserap langsung dari petani lokal. Biaya operasional lebih ramping, risiko keracunan massal hampir nihil, dan kualitas gizinya terjamin. Jika harga satu porsi MBG sekarang ditekan menjadi Rp6.500, maka angka yang sama sebenarnya cukup untuk menyediakan satu kotak susu dan sepotong buah.
Hitungannya sederhana. Dengan skema katering, negara bisa menghabiskan Rp10.000 hingga Rp15.000 per anak per hari. Kalikan dengan 82,9 juta penerima, biaya itu membengkak antara Rp829 miliar sampai Rp1,2 triliun setiap hari. Padahal, dengan alokasi Rp6.500 untuk susu dan buah, kebutuhan gizi inti tetap terpenuhi dengan biaya hanya Rp538 miliar per hari. Itu berarti ada potensi penghematan antara Rp292 miliar sampai Rp702 miliar setiap hari. Jika dikalikan setahun ajaran sekitar 300 hari sekolah, negara bisa menghemat Rp87 triliun hingga Rp210 triliun. Dana sebesar itu bisa dialihkan untuk membangun industri susu nasional, mendirikan pabrik pengolahan di NTT dan NTB, atau memberi modal bagi klaster peternakan sapi perah yang dikelola langsung oleh anak-anak muda lulusan fakultas peternakan.
Lebih dari itu, skema susu dan buah gratis bisa menjadi pintu masuk bagi kebijakan pembangunan yang lebih visioner. Bayangkan jika Indonesia benar-benar menjadi sentra sapi perah terbesar di Asia Tenggara. Kita tidak hanya memberi susu untuk anak-anak, tetapi juga menumbuhkan industri, membuka lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan pada impor susu bubuk. Model ini sudah terbukti berhasil di New Zealand. Bedanya, kita tidak hanya bicara ekspor, tapi juga kedaulatan gizi anak bangsa.
Jadi sebenarnya, kita tidak kekurangan niat baik. Yang kita perlukan adalah keberanian untuk mengubah arah. Program makan bergizi gratis tidak harus berakhir di nasi kotak murah yang rawan masalah. Kita bisa menjadikannya sebagai tonggak lahirnya kebijakan gizi yang efisien, sehat, dan berkelanjutan.
Karena pada akhirnya, memberi gizi pada anak-anak bukan soal proyek. Ini adalah soal warisan. Warisan apakah yang mau kita tinggalkan? Makanan seadanya yang penuh risiko, atau susu dan buah yang benar-benar memberi masa depan?
%20(1)-min.png)

%20(1)-min.png)
