Adrian | Perdana Indonesia
Menyoroti insiden penyerangan aparat keamanan ke kampus Universitas Islam Bandung (Unisba) pada 1-2 September 2025. Peristiwa ini, yang menyebabkan ratusan korban terdampak gas air mata dan peluru karet di zona akademik yang seharusnya netral, tetap menjadi noda hitam bagi Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Jawa Barat. Meskipun ada upaya dari Gubernur Dedi Mulyadi (KDM) untuk meredam massa secara humanis—seperti mendatangi demonstran di DPRD Jabar—insiden ini tampaknya lebih dipengaruhi oleh perintah presiden yang menekankan ketegasan kepada Kapolri, sehingga Jawa Barat ikut terdampak. Namun, hal ini tidak menghapus tanggung jawab Forkopimda atas kegagalan koordinasi yang berujung pada kekerasan berlebihan.
Mari kita ulas secara obyektif, berdasarkan fakta terkini. Demonstrasi di depan Gedung DPRD Jabar pada 1 September 2025 berakhir ricuh, dengan penyisiran aparat yang meluas ke kawasan Tamansari hingga dini hari 2 September. Kampus Unisba dan Unpas, yang berfungsi sebagai posko medis darurat, menjadi target: gas air mata ditembakkan sekitar pukul 23.30 WIB, menyebabkan kepanikan massal, ambulans terhalang, dan 201 korban dirawat di aula Unisba. Ini bukan insiden isolasi; pola serupa pernah terjadi pada demo 2020, menunjukkan kegagalan belajar dari sejarah.
Forkopimda Jabar, dipimpin Gubernur Dedi Mulyadi sebagai ketua, seharusnya menjadi benteng pertama dalam pengelolaan keamanan daerah sesuai UU No. 23/2014. Upaya KDM untuk meredam secara humanis patut dicap jempol: beliau mendatangi massa di DPRD Jabar, mencoba dialog langsung.
Selain itu, pasca-insiden, Gubernur menyatakan pemerintah akan memperbaiki bangunan rusak, menunjukkan sikap responsif.
Namun, ini tidak cukup. Sebagai ketua Forkopimda, KDM bertanggung jawab atas koordinasi dengan Kapolda dan elemen lain. Mengapa penyisiran berlebihan ke kampus tidak dicegah? Di mana arahan preventif untuk menghormati ruang akademik? Upaya humanis beliau tampak terbatas pada level pribadi, sementara struktur Forkopimda gagal mencegah eskalasi. KDM sebagai pribadi sukses menjadi sosok yang humanis di mata rakyat. Tetapi KDM sebagai Ketua Forkopimda Jabar gagal menahan aparat menyerang dua kampus tersebut.
Tapi memang ini tidak sepenuhnya kegagalan KDM. Faktor eksternal yang disebutkan—perintah presiden ke Kapolri—memang memainkan peran besar. Presiden Prabowo Subianto memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk mengambil langkah tegas terhadap aksi anarkistis di berbagai daerah, termasuk penjarahan dan perusakan.
Instruksi ini, yang juga mencakup kenaikan pangkat bagi polisi korban demo, menunjukkan pendekatan keras dari pusat.
Jawa Barat, sebagai salah satu episentrum demonstrasi, ikut terdampak: ketegasan nasional ini mungkin mendorong aparat lokal bertindak lebih agresif, melampaui batas proporsionalitas dalam Perkapolri 1/2009. Kritik terhadap instruksi Kapolri soal "tembak di tempat" pun muncul, karena berpotensi melanggar HAM.
Namun, ini tidak membebaskan Forkopimda dari tanggung jawab adaptasi lokal. Gubernur KDM, dengan visinya "Jabar Istimewa", seharusnya bisa menjembatani perintah pusat dengan pendekatan daerah yang lebih humanis, bukan membiarkan kampus menjadi korban kolateral.
Dari lensa jurnalistik, ini adalah kegagalan multilevel: pusat memberikan perintah tegas tanpa cukup panduan kontekstual, sementara daerah gagal mengadaptasinya. Forkopimda harus segera investigasi transparan, mungkin melibatkan Komnas HAM, untuk verifikasi perintah operasi dan sanksi pelaku berlebihan. Pernyataan resmi yang minim hingga kini hanya memperburuk kepercayaan publik, terutama di kalangan mahasiswa yang trauma.
Dalam imajinasi saya membayangkan ini sebagai narasi epik tentang konflik antara niat baik dan sistem yang rusak. Mungkin saya akan menuangkan dalam sebuah novel *Bayang-Bayang Perintah*, Gubernur KDM digambarkan sebagai protagonis tragis: seorang pemimpin humanis yang mendatangi massa dengan tangan terbuka, tapi terjebak dalam jaring perintah presiden yang tegas, menyebabkan kabut gas air mata menyelimuti kampus. Konflik inti: dialog humanis vs. ketegasan nasional, dengan mahasiswa sebagai korban yang bersuara "Kampus woi!" sebagai simbol perlawanan. Bagaimana upaya individu seperti KDM bisa sia-sia jika tidak didukung koordinasi kuat, dan bagaimana perintah dari atas bisa merembet ke daerah, menghancurkan kepercayaan.
Meski Gubernur Dedi Mulyadi telah berupaya humanis dan insiden ini dipengaruhi perintah presiden ke Kapolri, Forkopimda Jabar tetap gagal melindungi warganya. Prioritaskan dialog, reformasi, dan akuntabilitas untuk mencegah pengulangan. Jika tidak, "Jabar Istimewa" hanya akan menjadi ironis. Saya akan terus mengawal isu ini—karena kebenaran tak boleh dibungkam.